Inna dan Saudaranya (Wa Akhwatuha): Contoh, Fungsi, dan Penjelasannya
Amil nawasikh atau faktor yang dapat merusak susunan sebuah kalimat dalam bahasa Arab terdiri dari dua bagian, yaitu berupa fi'il (kata kerja) seperti kana wa akhwatuha, dan huruf seperti inna wa akhwatuha. Namun berhubung materi tentang kana dan saudaranya telah dibahas pada kesempatan lalu, maka tema yang diangkat kali ini adalah tentang inna dan saudaranya (wa akhwatuha) dengan penjelasan lengkap beserta contoh penggunaannya dalam kalimat.
Pengertian Inna dan Saudaranya
Inna dan saudaranya (wa akhwatuha) adalah amil nawasikh (faktor perusak) yang dapat merubah i’rab dan makna kalimat mubtada’ khobar atau kalimat nominal, berfungsi menashabkan isim pertama (mubtada’) sebagai isimnya, dan merafa’kan isim kedua (khabar) sebagai khabarnya inna.Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitab Syarh Alfiyyah ibnu Malik al-Mujalladu ats-Tsani menjelaskan tentang inna dan saudaranya sebagaimana berikut:
إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا: تَنْصِبُ المُبْتَدَأَ وَتَرْفَعُ الخَبَرَ، والرَّفْعُ الَّذِى فِى الخَبَرِ لَيْسَ هُوَ الرَّفْعَ الأَوَّلَ الَّذِى كَانَ قَبْلَ دُخُولِ (إِنَّ)، بَلْ هُوَ رَفْعٌ مُجَدَّدٌ
Artinya: inna wa akhwatuha (dan saudaranya) adalah amil yang menashobkan mubtada’ dan merofa’kan khobar, rofa’nya khobar ini bukanlah rofa’ saat sebelum kemasukan inna, melainkan i’rab rafa’ yang mujaddad (baru).
Contohnya kalimat إِنَّ اللّٰهَ غَفُورٌ (sesungguhnya Allah Maha Pengampun), maka rofa’nya lafadz غَفُورٌ bukanlah i'rab rofa’ ketika ia menjadi khabarnya mubtada’, tetapi i’rab tersebut adalah mujaddad (baru) sebagai isimnya huruf inna. Pernyataan ini merupakan pendapat tandingan untuk sebagian ulama yang mengatakan bahwa rofa’nya lafadz غَفُورٌ sebab menjadi khabarnya mubtada’.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa inna dan saudaranya (wa akhwatuha) adalah huruf yang masuk pada kalimat nominal (mubtada' khobar), dan merubah mubtada’ yang semula marfu’ (dibaca rafa’) menjadi manshub (dibaca nashab) sebagai isimnya inna. Sedangkan khabar tetap dalam keadaan marfu’ sebagai khabarnya inna wa akhwatuha.
Inna dan Saudara-saudaranya (Akhwatuha)
Ada sedikit perbedaan pendapat di antara ulama ahli nahwu dalam menyebutkan inna dan saudara-saudaranya. Menurut Imam ibnu Malik, inna dan saudaranya secara keseluruhan ada 6 macam huruf yang disebutkan dalam nadzam Alfiyyah berikut ini:لِإِنَّ أَنَّ لَيْتَ لٰكِنَّ لَعَل ۞ كَأَنَّ عَكْسُمَا لِكَانَ مِنْ عَمَل
“Dalam kaitan amal inna (إِنَّ), anna (أَنَّ), laita (لَيْتَ), lakinna (كِنَّ), la’alla (لَعَلَّ), dan ka’anna (كَأَنَّ) itu kebalikan dari amal kana, yaitu menashabkan mubtada’ dan merafa’kan khabar”.
Sedangkan menurut Imam Sibawaih inna dan saudaranya secara keseluruhan ada 5 macam huruf. Jumlah ini didasarkan mengingat huruf انّ maftuhah (dibaca fathah hamzahnya) dan انّ maksurah (dibaca kasrah hamzahnya) merupakan satu bagian yang sama. Sebab pada hakikatnya انّ maftuhah itu adalah انّ maksurah, sebagaimana penjelasan yang akan datang.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan saudara-saudaranya inna adalah:
- Inna/anna (إِنَّ/أَنَّ), artinya sesungguhnya. Contohnya kalimat إِنَّ زَيْدًا مُجْتَهِدٌ (sesungguhnya Zaid itu rajin).
- Laita (لَيْتَ), artinya seandainya. Contohnya لَيْتَ الشَّبَابَ عَائِدٌ (seandainya masa muda kembali).
- Lakinna (لٰكِنَّ), artinya tetapi. Seperti kalimat زَيْدٌ جَاهِلٌ لٰكِنَّهُ مُجْتَهِدٌ (Zaid itu tidak pintar, tetapi ia orang yang rajin).
- La’alla (لَعَلَّ), artinya semoga, mudah-mudahan. Contohnya seperti لَعَلَّ المَطَرَ نَازِلٌ (semoga hujan turun).
- Ka’anna (كَأَنَّ), artinya seperti, seakan-akan. Misalkan kalimat كَأَنَّ فَاطِمَةَ بَدْرٌ (seakan-akan Fathimah itu purnama).
Fungsi Inna dan Saudaranya
Inna dan saudaranya tidak hanya menjadi partikel yang merubah i’rab suatu kalimat, tetapi juga memberikan pengaruh terhadap makna kalimat (mubtada’ khobar) yang dimasukinya. Oleh karena itu, menjadi penting untuk diketahui tentang fungsi inna dan saudaranya (wa akhwatuha) sebagaimana penjelasan berikut ini.1. Inna atau anna (إِنَّ atau أَنَّ)
Inna atau anna (إِنَّ atau أَنَّ) adalah huruf nawasikh yang berfungsi untuk menguatkan kalimat nominal (jumlah ismiyah).
حَرْفُ تَوْكيدٍ تَنْصِبُ الاسْمَ وَتَرْفَعُ الخَبَرَ
Artinya: inna atau anna adalah huruf taukid (penguat) yang menashabkan isim dan merafa’kan khabar.
Misalkan kalimat زَيْدٌ مُجْتَهِدٌ (Zaid itu rajin), perkataan seperti ini sifatnya masih berupa kabar, bisa benar bisa juga salah. Ketika hendak menguatkan perkataan tersebut maka ucapkanlah إِنَّ زَيْدًا مُجْتَهِدٌ (sesungguhnya Zaid itu rajin), huruf إِنَّ pada kalimat barusan adalah huruf yang berfungsi menguatkan bahwa Zaid itu benar-benar orang yang rajin.
2. Laita (لَيْتَ)
Laita (لَيْتَ) adalah huruf yang berfungsi untuk tamanni (تمنّى), mengharapkan sesuatu yang sulit terjadi, bahkan tidak mungkin itu terjadi.
حَرْفُ تَمَنٍّ يَتَعَلَّقُ بِالمُسْتَحِيْلِ غَالِبًا
Artinya: laita (لَيْتَ) adalah huruf tamanni (pengharapan) berkenaan dengan sesuatu yang mustahil terjadi pada umumnya.
Contoh penggunaan laita (لَيْتَ) seperti dalam syair Arab berikut ini:
أَلَا لَيْتَ الشَّبَابَ يَعُوْدُ يَوْمًا ۞ فَأُخْبِرَهُ بِمَا فَعَلَ المَشِيْبُ
“Seandainya masa muda kembali satu hari saja, maka akan kuberitahukan penyesalan orang yang sudah tua”.
Di dalam Al-Qur’an juga banyak ditemukan penggunaan laita (لَيْتَ), di antaranya seperti dalam ayat berikut ini:
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا
Artinya: Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai seandainya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”, (QS. Al-Furqan: 27).
3. Lakinna (لٰكِنَّ)
Lakinna (لٰكِنَّ) adalah saudaranya inna yang memiliki fungsi istidrak (إستدراك), yaitu untuk menyusuli perkataan sebelumnya.
حَرْفٌ نَاسِخٌ مِنْ أَخْوَاتِ إِنَّ يَنْصِبُ الإِسْمَ وَيَرْفَعُ الخَبَرَ، يُفِيْدُ الإِسْتِدْرَاكَ، أي: يَثْبُتُ لِمَا بَعْدَهُ حُكْمًا مُخَالِفًا لِحُكْمِ مَا قَبْلَهُ
Artinya: lakinna (لٰكِنَّ) adalah huruf nasikh dari saudaranya inna yang menashabkan isim dan merafa’kan khabar, berfungsi sebagai istidrak (إستدراك), artinya menetapkan hukum perkataan sesudah lakinna (لٰكِنَّ) yang berselisih dengan hukum perkataan sebelumnya.
Contoh penggunaan lakinna (لٰكِنَّ) seperti dalam kalimat berikut:
مَا زَيْدٌ بِقَائِمٍ لَكِنّهُ قَاعِدٌ
“Zaid tidak berdiri, tetapi ia duduk”
Dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 37 Allah SWT berfirman:
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِنْ رَبِّهِ ۚ قُلْ إِنَّ اللَّهَ قَادِرٌ عَلَىٰ أَنْ يُنَزِّلَ آيَةً وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: Dan mereka (orang-orang musyrik Mekah) berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya Allah kuasa menurunkan suatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui", (QS. Al-An’am: 37).
Lafadz لٰكِنَّ pada ayat di atas merupakan saudaranya inna yang menashabkan أَكْثَرَهُمْ sebagai isimnya, dan merafa’kan لَا يَعْلَمُونَ menjadi khabarnya. Berfungsi untuk menyusuli kalimat yang terjatuh sebelum لٰكِنَّ.
4. La’alla (لَعَلَّ)
La’alla (لَعَلَّ) adalah saudara inna yang berfungsi menunjukkan makna tarojji (mengharapkan sesuatu yang disenangi) dan tawaqqu’ (mengharapkan sesuatu yang tidak disenangi atau dikhawatirkan).
مِنَ الْحُرُوفِ الْمُشَبَّهَةِ بِالفِعْلِ، يَعْمَلُ عَمَلَ "إِنَّ" تَنْصِبُ الاسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ، وَهِيَ تُفِيدُ التَّرَجِّيَ فِى الأَمْرِ المَحْبُوْبِ وَالتَّوَقُّعَ لِلْأَمْرِ المَكْرُوْهِ
Artinya: la’alla (لَعَلَّ) adalah termasuk kategori huruf yang menyerupai fi’il (kata kerja), yang beramal seperti amalnya inna, yaitu menashabkan isim merafa’kan khabar, dan ia berfungsi untuk mengharapkan sesuatu yang disenangi terjadi dan yang tidak disenangi.
Contoh kalimat bahasa Arab dengan menggunakan partikel la’alla (لَعَلَّ) sebagaimana berikut:
- لَعَلَّ الْمُسَافِرَ وَاصِلٌ هَذَا الْمَسَاءَ : semoga musafir itu tiba sore ini.
- لَعَلَّ المَحْبُوْبِي حَادِرٌ : semoga kekasihku datang.
- لَعَلَّ خَالِدًا هَالِكٌ : mudah-mudahan Khalid binasa.
Contoh pertama dan kedua pada kalimat di atas adalah contoh penggunaan la’alla (لَعَلَّ) dengan makna tarojji (mengharap terjadinya perkara yang disukai), sedangkan pada contoh ketiga merupakan penggunaan la’alla (لَعَلَّ) untuk sesuatu yang tidak disukai terjadi.
Catatan: sebagian ulama ahli nahwu ada yang menyebutkan tawaqqu’ dengan istilah al-isyfaq (الإشفاق), artinya al-khouf (الخوف), yaitu kekhawatiran atau ketakutan.
Selain menunjukkan atas makna tarojji dan tawaqqu’, la’alla (لَعَلَّ) juga memiliki fungsi ta’lil (تعليل), yaitu penjelasan sebab (alasan). Dan ini banyak digunakan dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an, di antaranya:
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung, (QS. Al-Baqarah: 189).
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: dan takutlah terhadap Allah supaya kamu mendapat rahmat, (QS. Al-Hujurat: 10).
Akan tetapi, sebagian orang Arab ada yang menjadikan لَعَلَّ yang bermakna ta’lil seperti huruf jar, tidak beramal sebagaimana amalnya inna. Contohnya seperti dalam syair Arab berikut:
أُدْعُ أُخْرَى وَارْفَعِ الصَّوْتَ جَهْرَةً ۞ لَعَلَّ أَبِى المِغْوَارِ مِنْكَ قَرِيْبُ
“Panggillah kembali dan keraskan suaramu, barangkali Abu Mighwar dekat denganmu”.
Jika huruf لَعَلَّ pada syair di atas beramal sebagaimana inna, seharusnya diucapkan أَبَا المِغْوَارِ (dii’rabi dengan harakat fathah). Namun huruf لَعَلَّ tersebut diberlakukan sebagaimana huruf jar, sehingga pelafadzannya أَبِى المِغْوَارِ (dii’rabi dengan harakat kasrah).
5. Ka’anna (كَأَنَّ)
Saudaranya inna yang terakhir yaitu ka’anna (كَأَنَّ), yang memiliki fungsi tasybih (تشبيه), artinya persamaan atau penyerupaan.
حَرْفٌ مُشَبَّهٌ بِالفِعْلِ يَعْمَلُ عَمَلَ "إِنَّ" : يَنْصِبُ الاسْمَ وَيَرْفَعُ الخَبَرَ, يُفِيدُ التَّشْبِيهَ
Artinya: ka’anna adalah huruf yang menyerupai fi’il (kata kerja), yang beramal seperti amalnya inna, yaitu menashobkan isim merofa’kan khobar, dan ia berfungsi sebagai tasybih (penyerupaan).
Misalnya kalimat كَأَنَّ فُلَانًا أَسَدٌ (Seakan-akan Fulan itu singa). Maka huruf كَأَنَّ pada kalimat barusan difungsikan untuk menyerupakan Fulan dengan singa, artinya sama-sama pemberani. Contoh lain penggunaan ka’anna (كَأَنَّ) adalah syair Arab di bawah ini:
كَأَنَّكَ شَمْسّ وَالمُلُوكَ كَوَاكِبُ ۞ إِذَا طَلَعَتْ لَمْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
“Seakan-akan engkau adalah matahari, dan raja-raja adalah bintang-bintang. Ketika engkau terbit tidak ada bintang yang muncul dari mereka”.
Selain bermakna tasybih (penyerupaan), ka’anna (كَأَنَّ) juga memiliki fungsi zhan (ظنّ), artinya dugaan atau kecurigaan, dan taqrib (تقريب), yaitu perkiraan. Sebagian maqolah mengatakan zhann (ظنّ) dan syakk (شكّ); kecurigaan dan keraguan.
Pola Kalimat Inna dan Saudaranya
Imam ibnu Malik dalam nadzam Alfiyyah berkata:وَرَاعِ ذَا التَّرْتِيْبِ إِلَّا فِى الَّذِي ۞ كَلَيْتَ فِيْهَا أَوْ هُنَا غَيْرَ البَذِى
“Perhatikanlah tertibnya struktur ma’mul inna, kecuali seperti kalimat -semoga di dalam rumah/di sini tidak ada orang yang kotor mulutnya-”.
Maksud perkataan وَرَاعِ ذَا التَّرْتِيْبِ adalah memperhatikan pola susunan ma’mul khobar inna dan saudaranya, yaitu mendahulukan isim dan mengakhirkan khabarnya. Contohnya seperti:
إِنَّ المُؤْمِنِينَ الصَالِحِينَ ذَوُونَ خُلُقٍ حَسَنٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman memiliki akhlaq yang baik”.
Kecuali ketika khabar inna berupa jar majrur atau dharaf, isyarat contoh فِيْهَا dan هُنَا. Dengan demikian, boleh mendahulukan khabar inna dan mengakhirkan isim inna wa akhwatuha ketika khabarnya berupa jar majrur atau dharaf, sebagaimana kalimat “لَيْتَ فِيْهَا أَوْ هُنَا غَيْرَ البَذِى” (semoga di dalam rumah/di sini tidak ada orang yang kotor mulutnya).
Bahkan ada keadaan di mana khabar inna dan saudaranya wajib didahulukan, yaitu ketika isim inna wa akhwatuha memuat isim dhomir (kata ganti) yang merujuk pada mulabitsil khobar (kata yang menempati tempat khabar). Contohnya:
لَيْتَ فِى الدَّارِ صَاحِبَهَا أي لَيْتَ ثَبَتَ فِى الدَّارِ صَاحِبَهَا
“Semoga si pemilik rumah ada di dalam rumah”.
Lafadz فِى الدَّارِ pada contoh tersebut wajib didahulukan karena lafadz yang menjadi isim laita (صَاحِبَهَا) memiliki dhamir yang kembali kepada khabar لَيْتَ. Apabila khabar لَيْتَ diakhirkan, maka dhamirnya akan merujuk pada lafadz yang muta’akhkhir lafdhan wa rutbatan, artinya dhomir yang merujuk kepada lafadz atau posisi kata yang diakhirkan. Dan ini bertolak belakang dengan kaidah nahwu di mana dhamir haruslah kembali kepada kata yang terjatuh sebelumnya.
Adapun hukum yang berkaitan dengan ma’mul khabar inna dan saudaranya, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli nahwu. Hal ini sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu Aqil dalam kitab Syarh Alfiyyah berikut:
وَ لَا يَجُوزُ تَقْدِيْمُ مَعْمُولِ الخَبَرِ عَلَى الإِسْمِ إِذَا كَانَ غَيْرَ ظَرْفٍ وَ لَا مَجْرُورٍ نَحْوُ إِنَّ زَيْدًا آكِلٌ طَعَامَكَ فَلَا يَجُوزُ إِنَّ طَعَامَكَ زَيْدًا آكِلٌ وَكَذَا إِنْ كَانَ المَعْمُولُ ظَرْفًا أَو جَارًّا وَمَجْرُورًا نَحْوُ إِنَّ زَيْدًا وَاثِقٌ بِكَ أَو جَالِسٌ عِنْدَكَ فَلَا يَجُوزُ تَقْدِيْمُ المَعْمُولِ عَلَى الإِسْمِ فَلَا تَقُولُ إِنَّ بِكَ زَيْدًا وَاثِقٌ أَو إِنَّ عِنْدَكَ زَيْدًا جَالِسٌ وَأَجَازَهُ بَعْضُهُمْ
Penjelasan:
Tidak diperbolehkan mendahulukan ma’mul khobar inna dan saudaranya ketika tidak berupa dharaf atau jar majrur. Seperti kalimat:
إِنَّ زَيْدًا آكِلٌ طَعَامَكَ
“Sesungguhnya Zaid yang memakan makananmu”.
Maka tidak boleh diucapkan إِنَّ طَعَامَكَ زَيْدًا آكِلٌ. Hal ini juga berlaku meskipun ma’mul khabar inna wa akhwatuha berupa dharaf maupun jar majrur. Contohnya adalah kalimat:
إِنَّ زَيْدًا وَاثِقٌ بِكَ أَو جَالِسٌ عِنْدَكَ
“Sesungguhnya Zaid percaya dengamu/duduk di dekatmu”.
Tidak boleh mengucapkan إِنَّ بِكَ زَيْدًا وَاثِقٌ atau إِنَّ عِنْدَكَ زَيْدًا جَالِسٌ dengan mendahulukan ma’mul khobar inna mengakhirkan isimnya.
Menurut sebagian ahli nahwu yang lain, ma’mul khobar inna dan saudaranya boleh didahulukan mengakhirkan isimnya apabila ia berupa dhorof atau jer majrur. Contohnya seperti syair Arab berikut:
فَلَا تَلْحُنِيْ فِيْهَا فَإِنَّ بِحُبِّهَا ۞ أَخَاكَ مُصَابُ القَلْبِ حَمٌّ بَلَابِلُهُ
“Jangan kamu menyalahkan diriku karena mencintai saudaramu, sebab bagiku itu sebagai musibah hati yang cukup memprihatinkan”.
Kata بِحُبِّهَا merupakan jar majrur yang menjadi ma’mul khobar inna, sehingga ia boleh didahulukan mengakhirkan kata yang menjadi isim inna, yaitu أَخَاكَ (saudaramu).
Contoh Inna dan Saudaranya
Supaya lebih menunjang lagi penjelasan-penjelasan yang telah disampaikan. Sekarang coba perhatikan beberapa contoh inna dan saudaranya dalam kalimat berikut ini:- إِنَّ الإِسْلَامَ دِيْنُ السَّلَامِ : sesungguhnya Islam adalah agama keselamatan.
- أُخْبِرْتُ أَنَّ زَيْدًا نَاجِحٌ : saya mendapat kabar bahwa sesungguhnya Zaid menjadi orang sukses.
- لَيْتَ الشُّرُوْرَ بِدُوْنِ نُقَاطٍ وَ الْحَرَبَ بِدُوْنِ رَاءٍ لَكَانَتِ الْحَيَاةُ سُرُوْرًا وَحُبًّا : Andaikan kata Syurur tanpa titik dan kata Harb tanpa Ro', hidup akan penuh keceriaan dan cinta.
- لَعَلَّ زَيْدًا فَوْزٌ : mudah-mudahan Zaid menang.
- مُحَمَّدٌ اُمِّيٌ لَكِنَّ مُحَمَّدً رَسُوْلٌ : Muhammad itu ummiy tetapi Muhammad itu rasul.
- كَأَنَّ العِلْمَ نُوْرٌ : seakan-akan ilmu itu cahaya.
Contoh inna dan saudaranya dalam Al Qur'an surat Al Baqarah:
- إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ : Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu, (Al Baqarah 2:20).
- وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ : dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, (Al Baqarah 2:25).
- وَلَيْسَ ٱلْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنِ ٱتَّقَىٰ : Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa, (Al Baqarah 2:189).
- ثُمَّ عَفَوْنَا عَنكُم مِّنۢ بَعْدِ ذَٰلِكَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ : Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur, (Al Baqarah 2:52).
- مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ : sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui, (Al Baqarah 2:101).
Demikianlah pembahasan tentang inna dan saudaranya (wa akhwatuha). Selain penjelasan-penjelasan di atas, sebenarnya masih banyak hal yang penting diketahui berkaitan dengan inna beserta saudara-saudaranya. Seperti hukum bacaan di mana hamzah inna berharakat fathah dan kasrah, keadaan dibolehkannya khabar inna didahului lam ibtida’, ketentuan i’rab isim yang diathafkan kepada isimnya inna wa akhwatuha, dan lain-lain. Namun berhubung artikel ini dirasa sudah cukup panjang, maka penjelasan meliputi sub tema tersebut akan dibuatkan artikel tersendiri pada kesempatan yang akan datang. Insya Allah
Posting Komentar