Kana Berlaku Zaidah (Tambahan) dan Contoh Kalimatnya
Sebagai amil yang memberikan pengaruh pada perubahan harokat akhir suatu jumlah atau kalimat yang dimasukinya, kana wa akhwatuha bisa saja berlaku tam dan naqish. Maksud dari kana berlaku tam di sini berarti ia hanya membutuhkan ma’mul marfu saja.
Sedangkan pada kondisi naqish, kana dan saudaranya tidak hanya butuh akan ma’mul marfu’, namun juga membutuhkan ma’mul manshub. Bahkan kondisi ini wajib hukumnya bagi saudaranya kana, yaitu fati’a (فَتِئَ), laisa (لَيْسَ), dan zaala (زَالَ). Selain lafadz tersebut, dapat berlaku baik tam maupun naqish.
Di samping kana berlaku tam dan naqish, ternyata ada juga kana yang pada kondisi tertentu diberlakukan zaidah (tambahan). Artinya, kana hanya menjadi kata tambahan yang tidak memiliki makna dan tidak memberikan pengaruh apa-apa. Hal ini didasarkan pada bait Alfiyah Ibnu Malik yang berbunyi:
وَقَدْ تُزَادُ كَانَ فِى حَشْوٍ كَمَا ۞ كَانَ أَصَحَّ عِلْمَ مَنْ تَقَدَّمَا
“Dan terkadang kana itu diberlakukan zaidah (tambahan) di tengah-tengah kalimah, seperti perkataan مَا كَانَ أَصَحَّ عِلْمَ مَنْ تَقَدَّمَا”.
Dalam bait Alfiyah di atas, Imam Ibnu Malik memberikan contoh kalimat sebagaimana berikut:
مَا كَانَ أَصَحَّ عِلْمَ مَنْ تَقَدَّمَا
“Alangkah benarnya ilmu orang-orang terdahulu”.
Lafadz كَانَ pada kalimat tersebut diberlakukan zaidah (tambahan) karena menengahi antara ma ta’ajjubiyah dan fi’il ta’ajub yang keduanya saling terikat dan tidak dapat dipisahkan.
Imam Ibnu Ushfur menyebutkan bahwa kana berlaku zaidah ketika dalam kondisi berada di tengah-tengah kalimah atau kata yang multazim (terikat), seperti susunan mubtada’ khobar, fi’il dan fa’il, maushul dan shilah maushul, sifat dan mausuf. Contoh kalimatnya seperti:
- زَيْدٌ كَانَ قَائِمٌ (Zaid itu berdiri)
- لَمْ يُوْجَدْ كَانَ مِثْلُكَ (Orang sepertimu tidak akan ditemukan)
- جَاءَ الَّذِيْ كَانَ أَكْرَمْتُهُ (Seseorang yang kumuliakan telah datang)
- مَرَرْتُ بِرَجُلٍ كَانَ قَائِمٍ (Aku melewati seorang laki-laki yang berdiri)
Contoh lain kana yang berlaku zaidah adalah syair Arab berikut ini:
فَكَيْفَ إِذَا مَرَرْتَ بِدَارِ قَوْمِ ۞ وَجِيْرَانٍ لَنَا كَانُوا كِرَامِ
“Bagaimana perasaanmu ketika melewati perumahan kaum yang penghuninya orang-orang mulia lagi terhormat?”.
Penting diketahui bahwa kana yang berlaku zaidah haruslah berupa fi’il madhi (kata kerja lampau). Akan tetapi ada beberapa kalimat dalam syair Arab yang memberlakukan kana sebagai tambahan padahal ia berupa fi’il mudhari, namun terbilang langka bahkan syadz (keluar dari kaidah). Seperti perkataan Ummi Aqil bin Abi Thalib berikut:
أَنْتَ تَكُونُ مَاجِدٌ نَبِيْلُ ۞ إِذَا تَهُبُّ شَمْأَلٌ بَلِيْلُ
“Tiupan angin timur sepoi-sepoi basah pada badanmu mampu merubah penampilanmu sebagai orang dermawan lagi terhormat”.
Dari penjelasan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa kana yang berlaku zaidah (tambahan) memiliki ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
- Tidak memiliki makna
- Tidak memiliki amal (merofa’kan isim menashobkan khobar)
- Berupa fi’il madhi (kata kerja lampau)
- Berada di antara dua kata multazim (yang terikat).
Posting Komentar