Isim Kana dan Saudaranya: Pengertian, Fungsi, dan Contoh Kalimatnya
Kana dan saudaranya (wa akhwatuha) merupakan pengembangan lanjutan dari jumlah ismiyyah dalam tata bahasa Arab, yang kemudian disebut dengan amil nawasikh (faktor perusak). Artinya, ketika didapati adanya faktor tersebut, maka syarat mubtada khobar yang semula wajib marfu’ (dibaca rofa’) menjadi rusak hukumnya.
Pengertian Kana dan Saudaranya
Kana dan saudaranya (wa akhwatuha) adalah amil nawasikh (faktor perusak) yang masuk pada susunan mubtada khobar (jumlah ismiyyah). Disebut sebagai amil nawasikh karena kana dan saudaranya merubah khobar yang semula wajib marfu’ (dibaca rofa’) menjadi manshub (dibaca nashob), sedangkan mubtada tetap dalam keadaan rofa’ sebagai isimnya kana.
Contohnya seperti kalimat “زَيْدٌ قَائِمٌ” (Zaid itu berdiri), ketika diawali amil kana menjadi “كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا”. Begitu juga dengan saudaranya kana, sama-sama menyebabkan khabar menjadi manshub dan mubtada tetap dalam keadaan marfu’.
Kana dan Saudaranya
Menurut kesepakatan ulama ahli nahwu, kana dan saudaranya (wa akhwatuha) merupakan bentuk dari kalimah fi’il (kata kerja) kecuali laisa (لَيْسَ). Akan tetapi, jumhur nahwiyyin menganggap bahwa laisa (لَيْسَ) juga termasuk kalimah fi’il. Dalam hal ini, Imam Farosi dan Abu Bakar bin Syaqir lebih condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa laisa (لَيْسَ) bukanlah kalimah fi’il, melainkan kalimah huruf yang memiliki fungsi yang sama sebagaimana kana (كَانَ).
Dalam kitab Alfiyah Ibnu Aqil syarah Alfiyah Ibnu Malik menyebutkan bahwa kana dan saudaranya dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: 1) beramal tanpa adanya syarat khusus, 2) tidak dapat beramal kecuali dengan syarat khusus.
Kana dan saudaranya yang beramal tanpa syarat khusus ada 8 (delapan) macam, yaitu:
- Kana “كَانَ” (ada, menjadi, terjadi), contoh: كَانَ حَامِدٌ أُسْتَاذًا (Hamid adalah seorang guru).
- Dhalla “ظَلَّ” (menjadi, pada waktu siang), contoh: ظَلَّ المَطَرُ نَازِلًا (di waktu siang hujan turun).
- Baata “بَاتَ” (pada waktu malam), contoh: بَاتَ الطِّفْلُ نَائِمًا (di malam hari anak kecil tidur).
- Adlha “أَضْحَى” (memasuki waktu dhuha), contoh: أَضْحَى المُسْلِمُوْنَ مُصَلِّيْنَ (di waktu dhuha orang-orang Islam sholat).
- Ashbaha “أَصْبَحَ” (memasuki waktu subuh), contoh: أَصْبَحَ البَرْدُ شَدِيْدًا (di pagi hari sangat dingin).
- Amsaa “أَمْسَى” (memasuki waktu sore), contoh: أَمْسَى الطُّلَّابُ رَاجِعِيْنَ (di sore hari para siswa pulang).
- Shaara “صَارَ” (menjadi), contoh: صَارَ الخُبْزُ رَخِيْصًا (roti menjadi murah).
- Laisa “لَيْسَ” (tidak), contoh: لَيْسَ زَيْدٌ نَشِيْطًا (Zaid tidak rajin).
Sedangkan kana dan saudaranya yang tidak beramal kecuali dengan syarat khusus dibagi lagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
Pertama, harus didahului oleh nafi atau syibh nafi (nahi atau du’a) baik secara lafadz maupun tersirat, adalah:
- Zaala (مَا زَالَ) (senantiasa, selalu, tak henti-hentinya), contoh: مَا زَالَ زَيْدٌ عَالِمًا (Zaid senantiasa berilmu).
- Bariha (مَا بَرِحَ) (senantiasa, selalu, tak henti-hentinya), مَا بَرِحَ الطِّفْلُ نَائِمًا (Anak tak henti-hentinya tidur).
- Fati’a (مَا فَتِئَ) (senantiasa, selalu, tak henti-hentinya), contoh: مَا فَتِئَ خَالِدٌ قَائِمًا (Khalid selalu berdiri).
- Infakka (مَا إِنْفَكَّ) (senantiasa, selalu, tak henti-hentinya), contoh: مَا إِنْفَكَّ زَيْدٌ مُجْتَهِدًا (Zaid senantiasa berjuang).
Contoh saudaranya kana yang beramal dengan syarat tertentu secara tersirat sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S. Yusuf Ayat 85, yang berbunyi:
قَالُوا تَاللَّهِ تَفْتَأُ تَذْكُرُ يُوسُفَ حَتَّىٰ تَكُونَ حَرَضًا أَوْ تَكُونَ مِنَ الْهَالِكِينَ
Artinya: “Mereka berkata: Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa”. (Q.S. Yusuf : 85)
Pada ayat tersebut, lafadz “تَفْتَأُ” merupakan saudara kana yang tidak dapat beramal kecuali didahului oleh nafi atau syibh nafi, namun secara tersirat. Jika diperlihatkan maka berupa “لَا تَفْتَأُ”. Huruf nafi dibuang karena terjatuh setelah qosam (sumpah).
Tidak boleh membuang huruf nafi kecuali ia terjatuh setelah qosam (sumpah), apabila dibuang maka hukumnya adalah syadz (menyalahi aturan), sebagaimana syair Arab berikut:
وَأَبْرَحُ مَا أَدَامَ اللّهُ قَوْمِيْ | بِحَمْدِ اللّهِ مُنْتَطِقًا مُجِيْدَا
Artinya: “Sepanjang kaum-kaumku masih memiliki kuda dan pelananya, tidak mungkin aku menghentikan rasa syukurku kepada Allah”.
Kedua, harus didahului oleh ma mashdariyyah dharfiyyah, yakni daama “دَامَ” (senantiasa). Maksud dari mashdariyyah dharfiyyah di sini adalah antara “مَا” dan “دَامَ” dapat dita’wil mashdar, dan menempati tempatnya dharaf. Contohnya seperti “أَعْطِ مَادُمْتَ مُصِيْبًا دِرْهَمًا”, apabila dita’wil mashdar menjadi “أَعْطِ مُدَّةَ دَوَامِكَ مُصِيْبًا دِرْهَمًا” (memberilah kamu, selagi kamu masih memperoleh dirham). Contoh lain sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S. Maryam Ayat 31 :
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
Artinya: “dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;”. (Q.S. Maryam : 31)
Dengan demikian, secara keseluruhan kana dan saudaranya berjumlah 13 macam, yang dihimpun oleh Imam Ibnu Malik dalam bait syair Alfiyah berikut ini:
كَكَانَ ظَلَّ بَاتَ أَضْحَى أَصْبَحَا | أَمْسَى وَصَارَ لَيْسَ زَالَ بَرِحَا
.... فَتِئَ وَانْفَكَّ
"Seperti كَانَ yaitu ظَلَّ, بَاتَ, أَضْحَى, أَصْبَحَ, أَمْسَى, صَارَ, لَيْسَ, زَالَ, بَرِحَ, فَتِئَ, إِنْفَكَّ".
وَهَذِى الأَرْبَعَةْ | لِشَبْهِ نَفْيٍ أَوْ لِنَفْيٍ مُتْبَعَةْ ....
"Adapun yang empat ini (زَالَ, بَرِحَ, فَتِئَ, إِنْفَكَّ) harus diikuti syibh nafi atau nafi".
وَمِثْلُ كَانَ دَامَ مَسْبُوقًا بِمَا | كَأَعْطِ مَا دُمْتَ مُصِيْبًا دِرْهَمَا
"Dan semisal كَانَ yaitu دَامَ yang didahului ma mashdariyyah dharfiyyah, seperti kalimat ‘أَعْطِ مَادُمْتَ مُصِيْبًا دِرْهَمًا’ (memberilah kamu selagi kamu masih memperoleh dirham".
Fungsi Kana dan Saudaranya
Fungsi kana dan saudaranya adalah “تَرْفَعُ الاِسْمَ وَتَنْصِبُ الخَبَرَ” (merofa’kan isim dan menashobkan khobar). Contohnya seperti Firman Allah SWT:
وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
Artinya: "Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.". (Q.S. Al-Ahzab: 37)
Tidak ada keraguan bahwa كَانَ pada ayat di atas memberikan pengaruh kepada khabar mubtada (مَفْعُولًا) yang semula marfu’ menjadi manshub sebagai khabarnya كَانَ. Sedangkan lafadz أَمْرُ اللَّهِ tetap dalam keadaan rofa’ sebagai isimnya. Jadi, dhammahnya lafadz أَمْرُ اللَّهِ tersebut bukan lagi sebab ibtida’, melainkan akibat masuknya amil kana.
Dan ketahuilah bahwa kana (كَانَ) yang masuk pada mubtada khobar dalam bab asma Allah SWT dan sifat-Nya tidak menunjukkan atas makna zaman atau waktu. Akan tetapi, berfungsi ta’kid (penegasan/pengukuhan) terhadap sifat-sifat Allah SWT. Contohnya seperti Firman Allah dalam QS. Al-Fath ayat 14 :
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: “Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Fath: 14)
Pada ayat di atas, lafadz kana (كَانَ) merupakan bentuk fi’il madhi (kata kerja) dan tidak menunjukkan atas makna madhi (lampau), melainkan sebagai taukid (penguat) atas sifat-sifat Allah. Karena jika menunjukkan makna madhi, tentunya maghfirah (ampunan) dan rahmah (kasing sayang) Allah SWT tidak lagi wujud sekarang.
Dalam penemuan Fadil Shalih al-Samirai (tt; 189-191), kana (كَانَ) dalam struktur kalimat positif memiliki sepuluh fungsi, yaitu:
- Al-Madhi al-Munqathi; makna ini terbagi kepada dua bagian, yaitu;
- Menunjukkan suatu kejadian terdahulu dengan sifat kejadian yang tetap, sehingga masih dianggap berlaku pada masa sesudahnya.
- Menunjukkan kepada makna bahwa suatu peristiwa hanya terjadi satu kali saja.
- Al-Madhi al-Mutajaddid wa al-Mu’taad; makna ini muncul apabila kata yang menjadi khobar “kana” berupa fiil mudhari. Dalam struktur seperti ini, makna yang ditunjukkan terbagi kepada dua bagian, yaitu;
- Menunjukkan kepada suatu kejadian atau peristiwa yang sedang berlangsung.
- Menunjukkan bahwa suatu pekerjaan yang terjadi di masa lampau merupakan suatu kebiasaan pada masa lampau itu.
- Tawaqqu al-Huduts fi al-Madli; makna ini menunjukkan kepada suatu pekerjaan yang terjadi pada masa lampau saja.
- Al-Dawam wa al-Istimrar bi Makna Lam Yazal; makna ini menunjukkan bahwa suatu peristiwa terus berlangsung dan tidak pernah berhenti.
- Chal; dalam bahasa Indonesia berarti “keadaan”. Dengan ini, terdapat struktur kalimat yang mengandung kana (كَانَ) menunjukkan kepada makna “keadaan”.
- Istiqbal; menunjukkan kepada suatu kejadian pada masa yang akan datang.
- Shairurah; artinya adalah menjadi. Sehingga, di antara struktur kalimat yang ada kata kana menunjukkan kepada makna “menjadi”.
- Yanbagi wa al-Qudrat wa al-Istitha’ah; secara harfiyah kata yanbagi (يَنْبَغِى) diartikan “patut”, “pantas”. Sementara kata al-qudrat dan al-istitha’ah memiliki arti yang sama yaitu “kemampuan".
- Wajada dan Waqa'a; secara harfiyah kata wajada (وَجَدَ) berarti “mendapati” dan kata waqa’a (وَقَعَ) berarti “menimpa”. Makna seperti ini akan muncul ketika kana berlaku tam, yakni hanya membutuhkan ma’mul marfu’ saja.
- Zaidah; artinya adalah tambahan. Kana berlaku zaidah jika:
- Berupa fi'il madhi (kata kerja lampau)
- Berada di antara dua kata yang multazim (terikat).
Adapun fungsi saudaranya kana (كَانَ) adalah sebagai berikut:
- Menunjukkan kepada makna zaman atau waktu, yaitu ظَلَّ (waktu siang), بَاتَ (waktu malam), أَضْحَى (waktu dhuha), أَصْبَحَ (waktu subuh), أَمْسَى (waktu sore).
- Menunjukkan kepada makna penafian, yaitu لَيْسَ (bukan, tidak).
- Menunjukkan atas perubahan suatu kondisi tertentu kepada kondisi yang lain, yaitu صَارَ (menjadi).
- Menunjukkan kepada makna kontinyuitas suatu kejadian atau peristiwa, yaitu zaala (مَا زَالَ), bariha (مَا بَرِحَ), fati’a (مَا فَتِئَ), infakka (مَا إِنْفَكَّ), yang dapat berarti "terus-menerus" atau "senantiasa".
- Menunjukkan kepada masa suatu kejadian atau peristiwa, yaitu مَا دَامَ (sepanjang, selama).
Contoh Isim Kana wa Akhwatuha
Supaya lebih memahami lagi penjelasan sebelumnya, mari kita lihat contoh isim kana wa akhwatuha dalam ayat suci Al-Qur’an berikut ini:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
Artinya: "Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah". (Q.S. An-Nahl: 58)
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ
Artinya: "Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". (Q.S. Al-Baqarah: 111)
وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَىٰ فَارِغًا
Artinya: "Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa". (Q.S. Al-Qasas: 10)
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ
Artinya: "Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu". (Q.S. An-Nur: 29)
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّىٰ أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا
Artinya: "Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". (Q.S. Al-Kahf: 60)
Musytaq Kana wa Akhwatuha
Dilihat berdasarkan bentuknya, kana wa akhwatuha dibagi menjadi dua macam, yaitu:
- Musytaq (kata turunan), selain laisa (لَيْسَ) dan daama (دَامَ)
- Jamid (kata baku), yaitu laisa (لَيْسَ) dan daama (دَامَ).
Musytaq atau kata turunan dari kana beserta semua saudaranya dapat berfungsi sebagaimana madhinya kana, adalah:
- Fi’il mudhari’, contohnya kalimat “يَكُونُ زَيْدٌ قَائِمًا” (Zaid orang yang berdiri). Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Artinya: “Dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (Q.S. Al-Baqarah: 143)
- Fi’il amr, seperti dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 135:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan”. (Q.S. An-Nisa: 135)
- Isim fa’il, contohnya seperti syair Arab berikut ini:
وَمَا كُلُّ مَنْ يُبْدِى البَشَاشَةَ كَائِنَا | أَخَاكَ إِذَا لَمْ تُلْفِيْهِ لَكَ مُنْجِدَا
Artinya: “Orang yang ramah kepadamu tidak dapat dianggap saudara apabila tidak mau menyelamatkan dirimu dari ancaman marabahaya”.
- Mashdar, seperti ungkapan syair Arab berikut:
بِبَذْلٍ وَحِلْمٍ سَادَ فِى قَوْمِهِ الفَتَى | وَكَوْنُكَ إِيَّاهُ عَلِيْكَ يَسِيْرُ
Artinya: “Seorang pemuda yang santun dan dermawan dirinya pasti dihormati oleh kaumnya. Dan kamu sangat mudah kalau ingin meniru jejaknya”.
Sedangkan saudara kana yang berlaku jamid secara mutlak yaitu laisa (لَيْسَ) yang hanya memiliki satu bentuk saja. Contohnya “لَيْسَ النَّجَاحُ سَهْلًا” (sukses itu tidak mudah). Adapun daama (دَامَ), sebagian ulama ahli nahwu memperbolehkan dengan memakai bentuk mudhari’. Tetapi menurut mayoritas dan masyhurnya pendapat mengatakan hanya bentuk madhinya saja. Seperti kalimat:
لَنْ يَنْتَصِرَ العَدُوُّ مَا دَامَ التَّعَاوُنُ قَئِمًا
Artinya: “Musuh tidak akan menang selama ada kerja sama”.
Dan ketahuilah bahwa bentuk fi’il amr dan masdhar dari lafadz zaala (زَالَ) beserta saudaranya (بَرِحَ, فَتِئَ, dan إِنْفَكَّ) tidak bisa berfungsi merofa’kan isim menashobkan khobar. Seperti firman Allah SWT dalam Q.S. Hud ayat 118-119, yang berbunyi:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
Artinya: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Hud: 118)
Posting Komentar