Pengertian Shilah Maushul dan Syarat-syarat Ketentuannya
Isim maushul adalah kata sambung yang tidak dapat berfaedah secara sempurna tanpa perantara kalimat yang terjatuh setelahnya. Kalimat tersebut dalam ilmu nahwu diistilahkan dengan shilah maushul. Inilah yang akan menjadi pokok bahasan kajian Nahwu Shorof Online pada kali ini, yang meliputi pengertian shilah maushul, syarat shilah maushul, dan penjelasan lain yang berkaitan dengannya.
Pengertian Shilah Maushul
Kata shilah (صِلَةٌ) secara bahasa adalah bentuk mashdar dari kata washala-yashilu (وَصَلَ-يَصِلُ) yang dapat berarti relasi, sangkut-paut, keterkaitan, hubungan, atau ikatan. Sedangkan secara istilah, shilah maushul diartikan sebagai berikut ini :
كُلُّ جُمْلَةٍ أَوْ شِبْهِ جُمْلَةٍ تَأْتِي بَعْدَ الاسْمِ الْمَوْصُولِ وَتُتَمِّمُ مَعْنَاهُ، لاَ مَحَلَّ لَها مِنَ الإِعْرَابِ
Artinya : "Shilah isim maushul adalah setiap jumlah atau syibhul jumlah yang hadir setelah isim maushul guna menyempurnakan maknanya, dan tidak memiliki mahal".
Dengan begitu, untuk dapat memberikan informasi secara lengkap dan utuh, setiap isim maushul membutuhkan sebuah kalimat setelahnya sebagai perantara untuk memberikan faedah yang sempurna, sehingga informasi yang disampaikan bisa diterima oleh lawan bicara secara lengkap dan utuh. Shilah tersebut dapat berupa jumlah (ismiyyah dan fi'liyyah), atau syibhul jumlah (dharaf dan jer majrur).
Contohnya ungkapan "الْعِلْمُ هُوَ الَّذِيْ" (ilmu lah yang...), kata tersebut tidaklah memberikan pengertian yang sempurna kepada yang mendengarkan kecuali jika diberi shilah, menjadi "الْعِلْمُ هُوَ الَّذِيْ يَحْرِسُكَ لَا الْمَالُ" (ilmu lah yang menjagamu, bukan harta), sehingga memahamkan.
Syekh ibnu Malik dalam sya'ir nadham Alfiyah juga telah berkata :
وَكُلُّهَا يَلْزَمُ بَعْدَهُ صِلَةْ | عَلَى ضَمِيْرٍ لَائِقٍ مُشْتَمِلَةْ
Artinya : "Setiap maushul (maushul ismi dan harfi) harus menyebutkan shilah setelahnya, dan memuat dhamir yang sesuai".
Maksudnya, setiap isim maushul dan huruf maushul membutuhkan shilah (jumlah/syibhul jumlah) yang wajib terjatuh setelahnya, tidak boleh terjatuh sebelum maushul itu sendiri. Misalkan kata "جَائَنِي قَامَ الَّذِي", tidaklah sah jika lafadz "قَامَ" dijadikan shilah maushul "الَّذِي", karena kalimat yang berkedudukan menjadi shilah dari maushul harus di akhirkan dan tidak pula terpisah dengan maushulnya.
Adapun isyarah bait "عَلَى ضَمِيْرٍ لَائِقٍ مُشْتَمِلَةْ" di atas menunjukkan bahwa setiap isim maushul (mukhtash dan musytarak) mesti memuat dhamir yang cocok dengan isim maushul, baik dalam hal jenis (mudzakkar, muannats) maupun bilangannya (mufrad, tasniyah, jamak). Inilah yang kemudian disebut a'id (عَائِدْ), yaitu isim dhomir (kata ganti) yang menjadi sambungan dari isim maushul.
Contohnya maushul dan shilahnya :
جَائَنِي الَّذِى ضَرَبْتُهُ / اللَّذَانِ ضَرَبْتُهُمَا / اللَّذِيْنَ ضَرَبْتُهُمْ
Artinya : "Orang yang aku pukul / dua orang yang aku pukul / orang-orang yang aku pukul telah mendatangiku".
Kata dharaba (ضَرَبَ) dalam kalimat di atas adalah contoh shilah maushul yang telah memuat dhamir yang sesuai dengan maushulnya (a'id maushul). Lebih jelasnya, coba perhatikan contoh pertama, kata "الَّذِى" di situ merupakan isim mauhul mukhtash (untuk mufrad mudzakkar) yang pasti membutuhkan shilah, yaitu "ضَرَبْتُهُ" dan telah memuat a'id berupa dhamir hu "هُ" yang merujuk kepada lafadz "الَّذِى". Pada contoh kedua dan ketiga menggunakan maushul "اللَّذَانِ/اللَّذِيْنَ" (untuk mufrad tasniyah/jamak), sehingga dhamir yang kembali padanya berupa huma/hum "هُمَا/هُمْ". Begitu juga dengan yang muannats, tinggal mencocokkannya saja.
Lalu, bagaimana dengan isim maushul yang lafadznya satu tetapi dapat digunakan baik untuk mudzakkar, muannats, mufrad, tasniyah, dan jamak ?, man maushul (مَنْ) misalnya. Dalam hal ini, Syekh ibnu Aqil dalam kitab syarah "Alfiyah Ibnu Aqil" menjelaskan :
وَقَدْ يَكُوْنُ المَوصُوْلُ لَفْظُهُ مُفْرَدًا مُذَكَّرًا وَمَعْنَاهُ مُثَنًّى اَو مَجْمُوعًا اَو غَيْرِهِمَا وَذٰلِكَ نَحْوُ مَنْ وَمَا إِذَا قَصَدْتَ بِهِمَا غَيْرَ المُفْرَدِ وَالمُذَكَّرِ فَيَجُوْزُ حِينَئِذٍ مُرَاعَاةُ اللَّفْظِ وَمُرَاعَاةُ المَعْنَى فَتَقُولُ أَعْجَبَنِى مَنْ قَامَ وَمَنْ قَامَتْ وَمَنْ قَامَا وَمَنْ قَامَتَا وَمَنْ قَامُوا وَمَنْ قُمْنَ عَلَى حَسْبِ مَا يُعْنَى بِهِمَا
Maksudnya, ketika didapati maushul yang secara lafadznya berbentuk mufrad mudzakkar, akan tetapi dalam hal makna bisa digunakan untuk tasniyah, jamak, atau selainnya (seperti man dan ma "مَنْ وَ مَا"). Maka boleh memperhitungkan lafadz dan/atau memperhitungkan maknanya. Contohnya : "أَعْجَبَنِى مَنْ قَامَ وَمَنْ قَامَتْ وَمَنْ قَامَا وَمَنْ قَامَتَا وَمَنْ قَامُوا وَمَنْ قُمْنَ", sebagaimana yang telau beliau sebutkan.
Syarat-syarat Shilah Maushul
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa shilah maushul itu berupa jumlah atau syibhul jumlah. Imam ibnu Malik berkata :
وَجُمْلَةٌ اَو شِبْهُهَا الَّذِي وُصِلْ | بِهِ كَمَنْ عِنْدِى الَّذِى ابْنُهُ كُفِلْ
Artinya : "Kalimat yang dijadikan shilahnya maushul (selain al maushulah) itu berupa jumlah/syibul jumlah, seperti lafadz "مَنْ عِنْدِى الَّذِى ابْنُهُ كُفِلْ" (seseorang yang ada di dekatku adalah orang yang anaknya itu sudah dijamin)".
Jumlah yang menjadi shilahnya isim maushul (selain al maushulah) dapat berupa jumlah ismiyyah (kalimat yang diawali isim), dan jumlah fi'liyyah (kalimat yang di awali fi'il), atau berupa syibhul jumlah (dharaf dan jer majrur). Tetapi, tidak sepenuhnya jumlah/syibul jumlah itu dapat dijadikan sebagai shilah. Terdapat beberapa syarat yang mesti dipenuhi ketika menjadi shilahnya maushul. Berikut penjelasannya.
Syarat shilah maushul berupa jumlah ada 3 syarat, yaitu :
- Berupa jumlah khabariyyah (kabar/berita). Apabila berupa jumlah thalabiyyah (permintaan) atau insyaiyyah (tidak mengandung nilai benar dan bohong) maka tidak bisa menjadi shilahnya maushul. Contoh : "جَائَنِى الَّذِي إِضْرِبْهُ" (lafadz "إِضْرِبْهُ" adalah jumlah thalabiyyah/insyaiyyah).
- Tidak terikat dengan makna ta'ajjub (takjub/heran). Jika bermakna ta'ajjub maka tidak boleh dijadikan shilahnya maushul. Contoh : "جَائَنِى الَّذِي مَا أَحْسَنَهُ" (lafadz "مَا أَحْسَنَهُ" bermakna ta'ajjub).
- Tidak lagi membutuhkan kata yang terjatuh setelahnya. Apabila ia butuh akan kata setelahnya, maka tidak boleh dijadikan shilahnya maushul. Contoh : "مَا قَعَدَ الَّذِي لَكِنَّهُ قَائِمٌ" (lafadz "لَكِنَّهُ" masih membutuhkan lafadz setelahnya, yaitu "قَائِمٌ").
Akan tetapi, ada perbedaan pendapat mengenai syarat shilah maushul yang pertama. Menurut Imam kisa'i, jumlah thalabiyyah bisa menjadi shilahnya maushul. Begitu juga dengan Syekh Hisyam, menurutnya jumlah insyaiyyah boleh dijadikan sebagai shilah maushul. Wallahu a'lam.
Adapun syarat shilah maushul berupa syibhul jumlah (dharaf dan jer majrur) itu haruslah berfaedah atau memberikan kepahaman bagi mukhathab (lawan bicara). Contohnya seperti "جَاءَ الَّذِي عِنْدَكَ / الَّذِي فِالدَّارِ". Apabila tidak memberikan kepahaman secara lengkap dan utuh sehingga mukhathab bingung/tidak paham dengan ucapannya, maka tidak bisa menjadi shilah maushul. Seperti kata "جَاءَ الَّذِي بِكَ / الَّذِي اليَوْمَ".
Ketentuan Shilah Al Maushulah (ال)
Apakah huruf alif+lam (ال dibaca: al) itu isim maushul ? Bukankah ia termasuk golongan huruf yang dapat mema'rifatkan kalimah isim ? Ada perbedaan pendapat dalam hal ini, mayoritas ulama ahli nahwu sepakat bahwa alif+lam (ال) adalah huruf ta'rif dan ini adalah pendapat yang shahih. Namun tidak dipungkiri pula jika ia disebut sebagai al maushulah, yang i'rabnya dinukil pada shilahnya dan menunjukkan atas kema'rifatan. Contohnya lafadz "جَاءَ القَوْمُ الصَّالِحُونَ", maka tidak diperbolehkan mengucapkanya menjadi "جَاءَ القَوْمُ صَالِحُونَ" (tanpa alif+lam).
Menganut pada pendapat yang menyatakan bahwa alif+lam (ال) termasuk isim maushul, lalu bagaimana dengan ketentuan shilahnya ? Jawabnya adalah tidak berupa jumlah maupun syibhul jumlah, melainkan sifat sharihah. Dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik dijelaskan :
وَصِفَةٌ صَرِيْحَةٌ صِلَةُ أَلْ | وَكَوْنُهَا بِمُعْرَبِ الأَفْعَالِ قَلّْ
Artinya : "Silah al maushulah adalah sifat sharihah, adapun yang berupa fi'il mu'rab itu langka".
Shilah al maushulah haruslah berupa sifat sharihah, adalah isim sifat yang murni kesifatannya. Ada tiga macam sifat sharihah, yaitu isim fa'il, isim maf'ul, dan sifat musyabbihah. Akan tetapi, terdapat perbedaan pandangan mengenai sifat musyabbihah sebagai kelompok dari sifat sharihah.
Contoh al maushulah dan shilahnya :
- جَاءَ النَّاصِرُ (orang yang menolong "subyek" telah datang).
- جَاءَ المَنْصُوْرُ (orang yang ditolong "obyek" telah datang).
- هٰذِهِ الحَسَنُ وَجْهُهَا (Ini adalah sebagus-bagusnya wajah).
Meski demikian, ada juga al maushulah yang memiliki shilah berupa fi'il mudhari' (isyarah bait "وَكَوْنُهَا بِمُعْرَبِ الأَفْعَالِ قَلَّ") tetapi terbilang langka penggunaannya (menurut mayoritas ulama Basrah dikhususkan untuk sya'ir). Contohnya adalah sya'ir Arab di bawah ini :
مَا أَنْتَ بِالحَكَمِ التُّرْضٰى حُكُومَتُهُ | وَلَا الأَصِيْلِ وَلَا ذِى الرَّأْيِ وَالجَدَلِ
Artinya : "Engkau bukanlah hakim yang dianggap putusannya, dan bukan pula keturunan orang terhormat, orang yang memiliki pendapat, bukan pula yang ahli berdebat".
Bahkan ada juga al maushulah yang mempunyai shilah berupa jumlah ismiyyah dengan dharaf, dan ini terbilang syadz (keluar dari kaidah). Seperti sya'ir berikut ini :
مِنَ القَوْمِ الرَّسُوْلُ اللّٰهِ مِنْهُمْ | لَهُمْ دَانَتْ رِقَابُ بَنِى مَعَدِّ
Artinya : "Di antara kalian terdapat seseorang yang menjadi utusan Allah, dan seluruh bani Ma'ad tunduk dan patuh padanya".
مَنْ لَايَزَالُ شَاكِرًا عَلَى المَعَهْ | فَهُوَ حَرٍ بِعِيْشَةٍ ذَاتِ سَعَةْ
Artinya : "Barang siapa selalu bersyukur atas apa yang ada padanya, maka ia layak memperoleh kemudahan dan keluasan rezeki".
Demikianlah penjelasan shilah maushul dan syarat-syaratnya, semoga mudah dipahami dan membantu pemula dalam mempelajari kaidah nahwu shorof melalui media online.
Posting Komentar