Mulhaq Isim Tasniyah/Mutsanna dan Contohnya
Nahwushorof.ID - Termasuk jenis isim tasniyah yaitu isim tasniyah majazi atau mulhaq bil mutsanna, bisa juga disebut syibhul mutsanna. Mulhaq bil mutsanna adalah kata dalam bahasa Arab yang menjadi suplemen (pelengkap) dari isim tasniyah. Contohnya seperti isim "qomaroni" (قَمَرَانِ) dan "itsnani" (إِثْنَانِ).
Lebih lanjut dalam artikel ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai mulhaq bil mutsanna dan bagaimana contoh penggunaan mulhaq bil mutsanna dalam kalimat bahasa Arab.
Pengertian Mulhaq bil Mutsanna
Secara lughah (bahasa) kata "mulhaq" (مُلْحَقٌ) artinya adalah tambahan, lampiran, penggabungan, atau suplemen. Dikatakan sebagai mulhaq karena kata tersebut memiliki kemiripan dengan isim yang diikutinya.
Menurut KH. Mishbah Zainal Musthafa dalam terjemah matan Jurumiyyah, pengertian mulhaq bil mutsanna adalah:
وَهُوَ مَا ثُنِّيَ بِأَلِفٍ وَنُوْنٍ فِى حَالَةِ الرَّفْعِ وَيَاءٍ وَنُوْنٍ فِى حَالَتَيِ النَّصْبِ وَالجَرِّ
Artinya: Isim tasniyah majazi atau mulhaq bil mutsanna adalah isim yang ditasniyahkan dengan tambahan alif+nun ketika rafa’, dan dengan ya+nun ketika nashab dan jar.
Dalam kitab Ibnu Aqil syarah Alfiyah Ibnu Malik dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan mulhaq bil mutsanna adalah isim yang menunjukkan makna rangkap atau ganda dengan tambahan huruf di akhir kalimahnya, dan tidak dapat ditajrid (dipisah-pisah) kemudian diathaf-athafkan (ma’thuf dan ma’thuf alaih).
Contoh mulhaq bil mutsanna seperti lafadz "kila" (كِلَا) dan "itsnani" (إِثْنَانِ). Keduanya termasuk mulhaq mutsanna karena menunjukkan makna ganda dan tidak dapat ditajrid (dipisah-pisah). Jadi, tidak boleh diucapkan كُلٌّ وَكُلٌّ atau إِثْنٌ وَإِثْنٌ karena tidak memiliki bentuk mufrad.
Demikian halnya dengan lafadz "qomarani" (قَمَرَانِ), yang juga termasuk mulhaq mutsanna. Sekalipun dapat ditajrid (dipisah-pisah), namun ketika diathafkan athafnya mengarah kepada selain bentuk mufrad lafadz itu sendiri. Karena yang dimaksud dengan قَمَرَانِ adalah bulan dan matahari, bukan bulan dan bulan. Jika ditajrid dan diathafkan maka menjadi قَمَرٌ وَشَمْسٌ.
Berbeda lagi dengan lafadz "khalidani" (خَالِدَانِ) yang berakar dari bentuk mufrad "khalidun" (خَالِدٌ). Ketika ditajrid dan diathafkan menjadi خَالِدٌ وَخَالِدٌ. Oleh karenanya lafadz tersebut tidak termasuk mulhaq bil mutsanna.
I’rab Kilaa (كِلَا) dan Kiltaa (كِلْتَا) sebagai Mulhaq Mutsanna
Pada dasarnya semua isim tasniyah beserta mulhaqnya di i’rabi dengan huruf alif ketika rafa’, dan dengan ya’ ketika tingkah nashab dan jar. Akan tetapi ada juga mulhaq bil mutsanna yang di i’rabi menggunakan tanda harakat, yaitu kilaa (كِلَا) dan kiltaa (كِلْتَا).
Kilaa (كِلَا) dan kiltaa (كِلْتَا) merupakan mulhaq isim mutsanna sebagaimana yang telah kami singgung dalam bab sebelumnya. Meski sama-sama termasuk golongan mulhaq mutsanna, keduanya ini berbeda. Letak perbedaan tersebut yaitu dalam penggunaannya, jika lafadz kilaa (كِلَا) digunakan untuk jenis mudzakkar, maka kiltaa (كِلْتَا) dipakai untuk jenis muannats.
Yang menjadi pertanyaan, bukankah isim tasniyah dan mulhaqnya ditandai dengan tambahan alif+nun atau ya’+nun diakhir kalimahnya ? kenapa dalam lafadz kilaa (كِلَا) dan kiltaa (كِلْتَا) hanya terdapat tambahan huruf alif saja?.
Karena lafadz kilaa (كِلَا) dan kiltaa (كِلْتَا) adalah isim yang wajib mudhaf, itulah mengapa kedua lafadz ini tidak terdapat tambahan nun di akhir kalimahnya. Dalam kaidah ilmu nahwu, di mana ada isim tasniyah atau jamak salim berlaku mudhaf maka nunnya wajib dibuang. Terlebih lagi isim-isim yang berstatus wajib mudhaf, sebagaimana kilaa (كِلَا) dan kiltaa (كِلْتَا).
Adapun i’rab kilaa (كِلَا) dan kiltaa (كِلْتَا) ketika rafa’ adalah alif, ketika nashab dan jar dengan ya’, sebagaimana i’rab isim tasniyah haqiqi. Dengan syarat kedua mulhaq mutsanna tersebut mudhaf kepada isim dhamir. Contohnya seperti kalimat:
- جَاءَ الزَّيْدَانِ كِلَاهُمَا (Kedua Zaid itu telah datang).
- جَائَتِ المَرْأَتَانِ كِلْتَاهُمَا (Kedua perempuan itu telah datang).
- رَأَيْتُ الزَّيْدَيْنِ كِلَيْهِمَا (Aku melihat kedua Zaid itu).
- رَأَيْتُ المَرْأَتَيْنِ كِلْتَيْهِمَا (Aku melihat kedua perempuan itu).
- مَرَرْتُ بِالزَّيْدَيْنِ كِلَيْهِمَا (Aku berpapasan dengan kedua Zaid itu).
- مَرَرْتُ بِالمَرْأَتَيْنِ كِلْتَيْهِمَا (Aku berpapasan dengan kedua perempuan itu).
Jika mudhaf ilaihnya berupa isim dhahir, maka di i’rabi dengan harakat yang dikira-kirakan atas alif, baik ketika rafa’, nashab, maupun jar. Contohnya seperti:
- جَائَنِي كِلَا الزَّيْدَيْنِ (Keduanya (Zaid) telah mendatangiku).
- جَائَتْنِي كِلْتَا المَرْأَتَيْنِ (Kedua-duanya (perempuan) telah mendatangiku).
- رَأَيْتُ كِلَا الرَّجُلَيْنِ (Aku melihat kedua-duanya pemuda itu).
- رَأَيْتُ كِلْتَا المَرْأَتَيْنِ (Aku melihat kedua-duanya perempuan itu).
- مَرَرْتُ بِكِلَا الرَّجُلَيْنِ (Aku berpapasan dengan kedua-duanya pemuda itu).
- مَرَرْتُ بِكِلْتَا المَرْأَتَيْنِ (Aku berpapasan dengan kedua-duanya perempuan itu).
Coba perhatikan contoh di atas, ketika lafadz kilaa (كِلَا) dan kiltaa (كِلْتَا) berlaku mudhaf kepada isim dhamir, i’rabnya mengikuti i’rab isim tasniyah sebagaimana mestinya. Sedangkan pada saat mudhaf kepada isim dhahir di i’rabi dengan harakat muqaddarah atas alif.
Tambahan : Sebagian ulama ahli nahwu ada yang berpendapat bahwa kilaa (كِلَا) dan kiltaa (كِلْتَا) adalah bentuk isim mufrad secara lafdziyahnya. Akan tetapi dalam hal makna, keduanya mutsanna.
I’rab Itsnaani (إِثْنَانِ) dan Itsnataani (إِثْنَتَانِ) sebagai Mulhaq Mutsanna
Lafadz itsnaani (إِثْنَانِ) dan itsnataani (إِثْنَتَانِ) itu berlaku sama sebagaimana lafadz ibnaani (إِبْنَانِ) dan ibnataani (إِبْنَتَانِ), dalam i’rabnya. Artinya, ketika rafa’ di i’rabi dengan alif, ketika nashab dan jar di i’rabi dengan ya’.
Hanya saja, itsnaani (إِثْنَانِ) dan itsnataani (إِثْنَتَانِ) termasuk golongan mulhaq mutsanna, sedangkan ibnaani (إِبْنَانِ) dan ibnataani (إِبْنَتَانِ) adalah isim tasniyah yang haqiqi, karena keduanya dapat ditajrid (dipisah-pisah) lalu dibuat athaf-athafan, menjadi إِبْنٌ وَإِبْنٌ.
Contoh mulhaq mutsanna itsnaani (إِثْنَانِ) :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang di antara kalian menghadapi kematian, sedang ia hendak berwasiat, hendaknya (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian”. (QS. Al-Maidah: 106)
Lafadz itsnaani (إِثْنَانِ) dalam potongan ayat di atas berkedudukan sebagai khobar atas mubtada’ lafadz شَهَادَةُ. Dan setiap khobar pasti dibaca rafa’, adapun i’rab rafa’nya yaitu alif karena itsnaani (إِثْنَانِ) adalah mulhaq bil mutsanna.
Contoh mulhaq mutsanna itsnataani (إِثْنَتَانِ) :
فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا
Artinya : “Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air”. (QS. Al-Baqarah: 60)
Lafadz itsnataani (إِثْنَتَانِ) pada ayat di atas adalah mulhaq bil mutsanna yang berlaku sebagaimana ibnataani (إِبْنَتَانِ). Berkedudukan menjadi fa’il atas fi’il فَانْفَجَرَتْ, dan setiap fa’il hukumnya adalah rafa’. Ditandai dengan alamat alif sebagai pengganti atas dhammah. Adapun nun yang terdapat pada lafadz itsnataani (إِثْنَتَانِ) itu dibuang, sebab ia berlaku mudhaf, jika dikembalikan maka menjadi اِثْنَتَانِ عَشْرَةَ.
Penutup
Demikianlah penjelasan mengenai mulhaq bil mutsanna. Sederhananya, mulhaq bil mutsanna diartikan sebagai isim yang kurang mencukupi syarat definisi isim tasniyah secara haqiqi, yaitu dapat ditajrid (dipisah-pisah) dan diathafkan kepada semisalnya.
Dalam bab mulhaq mutsanna ini juga kami menemukan perbedaan pendapat dalam hal i’rabnya. Untuk itu, selain dari artikel ini kami harap pembaca juga mencari referensi lainnya sebagai rujukan tambahan sekaligus banding.
Posting Komentar