Isim Mabni Adalah: Pahami Pengertian, Macam, dan Contoh Kalimatnya

Daftar Isi

Nahwushorof.ID - Isim mabni adalah kata benda dalam bahasa Arab yang harokat akhirnya tidak mengalami perubahan sekalipun didahului oleh amil. Ada 6 (enam) macam isim mabni, contohnya seperti dhomir "anta" (أَنْتَ), kata tanya "hal" (هَلْ), isim syarat "man" (مَنْ), dan lain-lain. Dalam artikel ini akan dijelaskan lebih dalam mengenai isim mabni dan apa saja yang berkaitan dengan isim mabni.

Kata kunci: Isim mabni, tabel isim mabni, sebab isim mabni, syibhul mudni, faktor kemabnian isim, contoh isim mabni, macam-macam isim mabni, isim mabni alfiyah, yang termasuk isim mabni.

Pengertian Isim Mabni

Isim mabni merupakan bab pokok yang masuk dalam kajian ilmu tata bahasa Arab. Istilah mabni banyak dipakai dalam menggambarkan suatu kalimah atau kata yang dilihat berdasarkan bentuk akhirnya.

Kalimah itu sendiri dalam ilmu Nahwu terdiri atas tiga macam, yaitu isim, fi’il, dan huruf. Dari ketiga kalimah tersebut, kiranya hanya huruf lah yang tidak berubah sama sekali keadaan harokat akhirnya. Sedangkan sisanya, sebagian ada yang mu’rab dan ada juga yang mabni.

Secara harfiah kata "mabni" (المَبْنِيُّ) merupakan bentuk isim maf’ul dari madhi "bana" (بَنَى), artinya “yang dibangun”. Sedangkan menurut istilah ahli nahwu, pengertian isim mabni adalah:

لُزُوْمُ آخِرِ الكَلِمَةِ حَالَةً وَاحِدَةً مَعَ إخْتِلَافِ العَوَامِلِ فِيْهَا

Terjemahan: "Isim mabni adalah kata benda yang tetap harokat akhirnya dalam satu keadaan sekalipun berbedanya amil yang memasukinya".

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa isim mabni memiliki bentuk harokat akhir yang tetap dalam keadaan apapun. Berbeda dengan isim mu'rab yang mengalami perubahan seiring dengan berbedanya amil yang mendahuluinya.

Sekarang coba perhatikan contoh isim mabni dalam kalimat berikut:

  • هَذَا كِتَابٌ (Ini kitab).
  • ضَرَبَ زَيْدٌ هَذَا الكَلْبَ (Zaid memukul anjing ini).
  • جَاءَ خَالِدٌ فِى هَذَا المَجْلِسِ المُبَارَكِ (Khalid datang di majlis yang berkah ini).

Pada contoh di atas, harakat akhir lafadz هَذَا tidak berubah (mabni sukun) baik menempati keadaan rafa’, nashab, maupun jar.

Faktor Kemabnian Isim

Dalam kitab Ibnu Aqil ala Alfiyah Jamaluddin Muhammad bin Abdillah bin Malik Rahimahumallah dijelaskan.

وَالاِسْمُ مِنْهُ مُعْرَبٌ وَمَبْنِى | لِشَبَهٍ مِنَ الحُرُوْفِ مُدْنِى

Terjemahan: “Isim itu ada yang mu’rab dan ada juga yang mabni karena menyerupai kalimah huruf dengan persamaan yang dekat”.

Pada dasarnya semua kalimah isim itu mu’rob hukumnya. Kalimah isim yang berstatus mabni sebab memiliki persamaan yang dekat dengan kalimah huruf. Dalam istilah ilmu nahwu, persamaan ini disebut sebagai syibhul mudni (شبه المدني), yang jumlahnya ada empat, yaitu Syibhul wadl’i, Syibhul ma’nawi, Syibhun niyabah, dan Syibhul iftiqar.

Macam-macam Isim Mabni

Berdasarkan analisis faktor yang menjadikan isim dihukumi mabni. Selanjutnya akan diuraikan secara rinci macam-macam isim mabni yang enam, yaitu: 1) isim dhamir, 2) isim istifham, 3) isim syarat, 4) isim isyarah, 5) isim maushul, dan 6) isim fi'il.

1. Isim Dhamir

Secara lughah kata "dhamir" (الضمير) memiliki arti suara hati, pikiran, paling dalam. Dalam ilmu nahwu, isim dhomir adalah kata ganti atau pronoun yang digunakan untuk menunjukkan orang pertama, kedua, atau orang ketiga.

فَمَا لِذِيْ غَيْبَةٍ اَوْ حُضُوْرِ | كَأَنْتَ وَهْوَ سَمِّ بِالضَمِيْرِ

“Isim yang menunjukkan pada yang ghaib dan hadir seperti  'أَنْتَ' dan  'هُوَ' namailah dengan dhamir”

سَمِّ بِالضَمِيْر” (namakanlah dengan dhamir), perintah Syaikh Ibnu Malik kepada kita. Artinya, namakanlah dengan sebutan dhamir, isim yang menunjukkan ma’na yang samar dengan dalalah ghaib seperti “هُو”, atau hadir yang dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu mukhatab, seperti “أَنْتَdan mutakallim, seperti “أَنَا”.

Isim dhamir dibagi ke dalam dua macam, yaitu :

  1. Dhamir bariz (بارز),
  2. Dhamir mustatir (مستتر).

a. Dhamir Bariz

Dilihat dari asal muasal katanya, "bariz" (بارز) berarti mencolok, terkemuka, atau nyata. Dhamir bariz adalah kata ganti yang tampak dalam pelafadzannya.

مَا لَهُ صُوْرَةٌ فِى اللَّفْظِ

“Isim yang memiliki bentuk dalam pelafadzannya”

Dhamir bariz dibagi menjadi dua macam, yaitu :

  1. Muttashil (متّصل),
  2. dan Munfashil (منفصل).

1) Dhamir Muttashil

Dhamir muttashil adalah kata ganti yang tidak dapat terletak di awal kalimat dan tidak bisa pula terjatuh setelah lafadz "illa"اِلَّا”.

مَا لَا يُبْتَدَأُ بِهِ وَلَا يَقَعُ بَعْدَ اِلَّا فِى الإِخْتِيَارِ

“Dhamir muttashil adalah isim yang tidak dapat berada di awal kalimat dan tidak terjatuh setelah ‘اِلَّا’ dalam keadaan bisa memilih”.

Contoh dhamir muttashil seperti perkataan : يَا إِبْنِيْ (Wahai anakku), أَكْرَمَكَ (Zaid memulyakanmu).

Dhamir muttashil dibagi lagi ke dalam tiga macam, yaitu:

  1. Dhamir muttashil mahal rafa’, seperti: وَجَدْتُ كَثِيْرَةً مِنَ الغَرَائِبِ فِيْ هَذَا المَكَانِ (Aku menemukan banyak hal aneh di tempat ini).
  2. Dhamir muttashil mahal nashab, seperti: تَقَدَّمَ الجُنُوْدُ نَحْوَ العَدُوِّ وَحَاصَرُوْهُ (Para tentara maju ke arah musuh dan mengepungnya).
  3. Dhamir muttashil mahal jar, seperti: أَخَذْتُ قَلَمَكَ مِنْكَ (Aku mengambil penamu darimu).

Jika ada dhamir muttashil yang terjatuh setelah "illa" (الّا) maka hukumnya adalah syadz (keluar dari kaidah). Seperti ungkapan sya’ir berikut;

أَعُوْذُ بِرَبِّ العَرْشِ مِنْ فِئَةٍ بَغَتْ | عَلَيَّ فَمَالِي عَوْضُ اِلَّاهُ نَاصِرُ

“Aku meminta perlindungan kepada Rabb yang menguasai Arsy dari golongan yang zalim atas diriku, tidak ada dzat yang menjadi penolongku kecuali hanya Rabb yang menguasai Arsy”

2) Dhamir Munfashil

Bagian yang kedua yaitu dhamir munfashil (الضمير المنفصل). Jika dhamir muttashil adalah dhamir yang tidak dapat terletak di awal kalimat dan tidak bisa terjatuh setelah "illa"الّا”, maka dhamir munfashil adalah kebalikannya.

الضَّمِيْرُ المُنْفَصِلُ مَا يُبْتَدَءُ بِهِ وَ يَقَعُ بَعْدَ إِلَّا

“Dhamir munfashil adalah kata ganti yang dapat diletakkan di awal dan terjatuh setelah "illa" (الّا)”.

Dhamir munfashil ini juga dibagi lagi menjadi 2 bagian, yaitu dhamir munfashil mahal rafa’ dan dhamir munfashil mahal nashab. Contohnya seperti kalimat:

  • اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ اِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (Kepadamu aku menyembah dan kepadamu aku meminta pertolongan).
  • هُمْ قَائِمُوْنَ (Semua orang berdiri).
  • مَاقَامَ اِلَّا أَنَا (Tidak ada yang berdiri kecuali Saya).

b. Dhamir Mustatir

Secara umum mustatir memiliki arti tersembunyi, tertutup, atau rahasia. Dalam ilmu nahwu, dhamir mustatir adalah kata ganti yang tidak tampak dalam pelafadzannya.

الضَمِيْرُ المُسْتَتِرُ مَا لَيْسَ لَهُ صُوْرَةٌ فِي اللَّفْظِ

“Dhamir mustatir adalah dhamir yang tidak berwujud dalam pelafadzannya”

Dhamir mustatir memang tidak nampak secara pelafadzan, namun tersirat pada kata kerja (fi'il) dan kehadirannya hanya dapat dijumpai dengan menyaksikan wujud dari kata kerja (fi'il) tersebut. Contohnya seperti perkataan:

تَعَلَّمْ صَغِيْرًا وَاعْمَلْ بِهِ كَبِيْرًا

(Belajarlah di masa kecil dan amalkanlah di masa besar).

Pada contoh di atas, lafadz تَعَلَّمْ dan وَاعْمَلْ adalah fi'il amr yang pasti memiliki ma'mul marfu' sebagai fa’ilnya. Fa’il dari lafadz fi’il amr tersebut yaitu dhamir yang wajib disimpan, jika ditakdirkan berupa أَنْتَ (Kamu).

Dhamir mustatir dibagi ke dalam 2 macam, yaitu :

  1. Mustatir jawaz (المستتر الجواز),
  2. dan Mustatir wujub (المستتر الوجوب).

1) Dhamir Mustatir Jawaz

Dalam Kamus al-Munawwir, "jawaz" (الجواز) artinya boleh. Pada konteks ini yang dimaksud dhamir mustatir jawaz adalah kata ganti yang dapat digantikan oleh isim dhahir, bahkan dhamir munfashil.

المُسْتَتِرُ الجَوَازُ مَا يُخْلِفُهُ الظَاهِرُ اَوِ الضَمِيْرُ المُنْفَصِلُ

“Mustatir jawaz adalah kata ganti yang isim dhahir ataupun dhamir munfasil dapat menggantikannya”

Dhamir mustatir jawaz dapat dijumpai pafa fi’il madhi dan fi’il mudhari’ untuk mufrad mudzakar ghaib dan mufrad muannats ghaibah. Seperti kalimat:

  • سَمِعْتُ اَنَّهُ تَزَوَّجَ فَإِذَا هُوَ لَمْ يَزَلْ عَازِبًا (Saya dengar dia (lk) sudah menikah, ternyata masih menjomblo).
  • لَعَلَّهَا أَرْسَلَتْ عَلَيَّ هَذِهِ الرِّسَالَةَ عَنْ قَصْدٍ لِتَجْرِحَ قَلْبِيْ (Barangkali dia (pr) sengaja mengirim pesan ini untuk melukai hatiku).

2) Dhamir Mustatir Wujub

Kata "wujub" artinya keharusan, kewajiban, keperluan atau kebutuhan. Menurut istilah dhamir mustatir wujub adalah:

مَا لَا يُخْلِفُهُ الظَّاهِرُ اَوِ الضَمِيْرُ المُنْفَصِلُ

“Dhamir mustatir wujub adalah dhamir yang tidak dapat digantikan oleh isim dhahir ataupun dhamir munfashil”

Dhamir mustatir wujub dapat dijumpai pada fi’il amr untuk mufrad mudzakar mukhatab dan fi’il mudhari’ untuk mufrad mudzakar mukhatab, mutakallim wahdah, dan mutakallim ma’al ghair / mu’addhim nafsah. Contohnya kalimat:

  • أُشْكُرِ اللّهَ (Bersyukurlah kamu (lk) kepada Allah).
  • إِذَنْ لِمَاذَا لَمْ تَتَعَلَّمِ العَرَبِيَّةَ وَأَنْتَ تَعْلَمُ اَنَّهَا مُهِمَّةٌ ؟ (Lalu kenapa kamu (lk) tidak belajar bahasa Arab, padahal kamu (lk) tau itu penting?).
  • أَتَعَلَّمُ اللَّغَةَ العَرَبِيَّةَ مَهْمَا كَانَتْ صُعُوْبَتُهَا (Saya akan belajar bahasa Arab, betapapun sulitnya).
  • عَلَيْنَا أَنْ نَنْظُرَ إِلَى غَيْرِنَا عَلَى أَسَاسِ الإِخْوَةِ (Kita harus memandang orang lain atas dasar persaudaraan).

Dari pengertian dan pembagian isim dhamir di atas, kurang lebih dapat kita rangkum dalam tabel isim dhamir berikut!

Isim Dhamir
Dhamir Mustatir Dhamir Bariz
Wujub Jawaz Munfashil Muttashil
Amr/Mudhari' Madhi/Mudhari' Nashab Rafa' Jar Nashab Rafa'
إِضْرِبْ (أَنْتَ) ضَرَبَ (هُوَ) إِيَّاهُ هُوَ بِهِ نَصَرْتُهُ نَصَرَ (هُوَ)
تَضْرِبُ (أَنْتَ) ضَرَبَتْ (هِيَ) إِيَّاهُمَا هُمَا بِهِمَا نَصَرْتُهُمَا نَصَرَا (هُمَا)
أَضْرِبُ (أَنَا) يَضْرِبُ (هُوَ) إِيَّاهُمْ هُمْ بِهِمْ نَصَرْتُهُمْ نَصَرُوا (هُمْ)
نَضْرِبُ (نَحْنُ) تَضْرِبُ (هِيَ) إِيَّاهَا هِيَ بِهَا نَصَرْتُهَا نَصَرَتْ (هِيَ)
   
   
إِيَّاهُمَا هُمَا بِهِمَا نَصَرْتُهُمَا نَصَرَتَا (هُمَا)
إِيَّاهُنَّ هُنَّ بِهِنَّ نَصَرْتُهُنَّ نَصَرْنَ (هُنَّ)
إِيَّاكَ أَنْتَ بِكَ نَصَرْتُكَ نَصَرْتَ (أَنْتَ)
إِيَّاكُمَا أَنْتُمَا بِكُمَا نَصَرْتُكُمَا نَصَرْتُمَا (أَنْتُمَا)
إِيَّاكُمْ أَنْتُمْ بِكُمْ نَصَرْتُكُمْ نَصَرْتُمْ (أَنْتُمْ)
إِيَّاكِ أَنْتِ بِكِ نَصَرْتُكِ نَصَرْتِ (أَنْتِ)
إِيَّاكُمَا أَنْتُمَا بِكُمَا نَصَرْتُكُمَا نَصَرْتُمَا (أَنْتُمَا)
إِيَّاكُنَّ أَنْتُنَّ بِكُنَّ نَصَرْتُكُنَّ نَصَرْتُنَّ (أَنْتُنَّ)
إِيَّايَ أَنَا بِيْ نَصَرْتُنِيْ نَصَرْتُ (أَنَا)
إِيَّانَا نَحْنُ بِنَا نَصَرْتُنَا نَصَرْنَا (نَحْنُ)

2. Isim Istifham

Macam-macam isim mabni yang kedua yaitu isim istifham (اسم الإستفهام). Isim istifham adalah kata benda yang difungsikan untuk bertanya mengenai suatu hal. Bertujuan untuk memohon tanggapan atau respon dari seseorang mengenai pertanyaan yang disodorkan.

Dalam bahasa Indonesia, kata tanya memiliki sejumlah jenis beserta fungsi yang berbeda-beda. Begitu juga dalam tata bahasa Arab. Lebih jelasnya sebagai berikut.

1) أَ (Apakah, Adakah)

Hamzah ialah huruf hijaiyah (أ) yang mempunyai banyak peranan. Pengertian dari kalimat istifham yang memakai hamzah berada pada formasi penulisannya. Kalimat bertanya yang memakai hamzah hanya dapat dipakai bila sang penanya ingin memperoleh kejelasan jawaban. Contohnya:

أَمُحَمَّدٌ حَاضِرٌ أَمْ عَلِي ؟

(Apakah Muhammad yang hadir atau Ali ?)

Kalimat pertanyaan di atas memerlukan jawaban penegasan. Orang yang melontarkan pertanyaan sebagaimana di atas tentu ingin memperjelas satu antara dua opsi yang ditanyakan.

2) هَلْ (Apakah)

Perangkat istifham yang kedua adalah hal (هل), yaitu huruf istifham yang digunakan untuk bertanya tentang benar atau tidaknya sesuatu. Seperti perkataan:

سَأَلَنِيْ هَلْ أُحِبُّهُ فَأَجَبْتُ صَرَاحَةً : لَا

(Dia bertanya padaku apakah aku mencintainya ? Lalu kujawab terus terang: tidak).

3) مَنْ (Siapa)

Man (مَنْ) adalah isim istifham mabni sukun untuk yang berakal baik mudzakar, muannats, mufrad ataupun ghairu mufrad. Contohnya:

قَالُوا يَاوَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا

(Mereka berkata: Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur) ?).

4) مَا (Apa)

Yaitu kata yang difungsikan untuk mendapatkan informasi atau keterangan suatu nama atau menanyakan inti suatu hal yang dinamakan. Sebagaimana perkataan:

مَا اللَّذِيْ حَدَثَ فِي الحَقِيقَةِ ؟

(Apa yang sebenarnya terjadi ?).

Apabila ma istifhamiyah (ما إستفهامية) kemasukan huruf jar, maka alifnya harus dibuang dengan menetapkan harokat fathah. Seperti kalimat:

لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

(Untuk apa kalian membicarakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan ?).

5) مَتَى (Kapan)

Yaitu partikel yang dipakai untuk menanyakan perihal waktu, baik itu مضى (masa lampau) ataupun مستقبل (masa sekarang/yang akan datang). Contohnya:

  • مَتَى تَحْتَجِيْ إِلَى الْمُسَاعَدَةِ اتَّصِلِيْ بِي (Kapan pun kamu butuh bantuan, hubungilah aku).
  • اِلَى مَتَى سَتَظِلُّ عَازِبًا ؟ (Sampai kapan kamu terus men-jomblo ?).
  • اطَّلِعِيْ عَلَي سُوْرَتِيْ مَتَى تَشْتَاقِي اِلَيَّ (Lihatlah photoku kapan pun kamu merindukanku).

6) اَيَّانَ (Kapankah)

Kata tanya ini digunakan dalam konteks untuk menanyakan waktu atau masa yang akan datang secara lebih rinci. Contohnya:

اَيَّانَ يَوْمُ القِيَامَةِ ؟

(Kapankah hari kiamad itu ?).

7) كَيْفَ (Bagaimana)

Kata tanya selanjutnya yakni كَيْفَ, isim istifham mabni fathah yang dipakai untuk bertanya mengenai keadaan. Seperti kalimat tanya:

  • أَلَا تَقُوْلِيْنَ لِي كَيْفَ أَفُوْزُ بِحُبِّكِ ؟ (Maukah kau (wanita) mengatakan bagaimana cara aku bisa mendapatkan cintamu ?).
  • كَيْفَ لَهَا اَنْ تُحِبَّ رَجُلًا فَقِيْرًا مِثْلِيْ ؟ (Bagaimana mungkin dia mencintai lelaki miskin seperti saya ?).
  • كَيْفَ أَقُوْلُ وَدَاعًا لِمَنْ فِي قَلْبِهَا أَنَا سَاكِنٌ ؟ (Bagaimana aku bisa mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang yang di dalam hatinya aku tinggal ?).

8) اَيْنَ (Di mana)

Kata tanya ini difungsikan untuk menanyakan perihal tempat. Sebagaimana pertanyaan:

  • لَا يَهُمُّنِيْ أَيْنَ أَسْكُنُ شَرْطًا اَنْ تَكُوْنَ مَعِيْ (Saya tidak masalah tinggal di mana, asalkan kamu bersamaku).
  • نَحْنُ أَيْضًا لَا نَعْرِفُ أَيْنَ هُوَ الآنَ (Kami pun tidak tahu di mana dia sekarang).

9) اَنَّى (Dari mana, bagaimanakah, kapankah)

Yaitu kata tanya dalam bahasa bahasa Arab yang menggunakan maknanya اَيْنَ, مَتَي, مِنْ dan كَيْفَ. Contohnya kalimat tanya:

  • أَنَّى يُحْيِيْ هَذِهِ اللّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا (Bagaimana Allah Swt menghidupkan kembali Negeri ini setelah hancur ?).
  • يَا مَرْيَمُ اَنَّى لَكِ هذَا (Wahai Siti Maryam, dari mana kamu mendapatkan (makanan) ini ?).
  • زِدْ اَنَّى شِئْتَ (Tambahlah kapanpun kamu mau).

10) كَمْ (Berapakah)

Kata tanya atau isim istifham berupa كَمْ adalah kata yang dipakai untuk menanyakan perihal عدد (bilangan) dan isim yang terjatuh setelahnya dibaca nashab menjadi tamyiz. Contohnya seperti:

  • كَمْ تَقْرِيْبًا عَدَدُ المَعَاهِدِ فِي إِنْدُوْنِيْسِيَا ؟ (Berapa kira-kira jumlah pesantren di Indonesia ?).
  • كَمْ يُسَاوِي الطُّنَّ مِنَ الكِيْلُوْ جِرَامِ ؟ (Satu ton sama dengan berapa kilogram ?).

11) أَيٌّ (Siapakah, mana saja, apa saja)

Isim istifham / kata tanya yang terakhir yakni أَيٌّ (Siapakah, mana saja, apa saja) yang dipakai untuk menanyakan dua perkara yang mungkin, baik untuk عاقل (yang berakal) ataupun غير عاقل (tidak berakal).

Berbeda dengan partikel istifham lainnya, أَيٌّ hukumnya adalah mu’rab. Adapun i’rabnya, di perhitungkan berdasarkan konteksnya dalam kalimat. Contohnya adalah:

  • أَيُّ المَوْعِيْدَيْنِ أَفْضَلُ اليَوْمُ أَمِ الغَدُ ؟ (Mana waktu yang lebih pas, hari ini atau besok ?).
  • أَيٌّ مِنْ هؤُلَاءِ المُرَشَّحِيْنَ حَفِظَ القُرْآنَ ؟ (Siapa diantara calon-calon itu yang hafal Al-Qur’an ?).

3. Isim Syarat

Isim syarat adalah kata benda yang memiliki fungsi sebagai penghubung antara dua kata, di mana kata pertama menjadi syarat dari kata yang kedua. Dalam hal ini kata yang pertama disebut sebagai syarat dan kata yang kedua disebut sebagai jawabnya. Berikut macam-macam isim syarat.

1) مَنْ (Barangsiapa)

Isim syarat مَنْ adalah isim mabni sukun yang dapat menjazemkan dua fi’il, yaitu fi’il yang menjadi syaratnya dan fi’il yang menjadi jawabnya. Isim syarat مَنْ digunakan untuk aqil, baik itu mudzakar, muannats, mufrad maupun ghairu mufrad.

Contohnya:

  • مَنْ يَعْمَلْ سُوْءً يُجْزَ بِهِ (Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi balasa atas kejahatan itu).
  • فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (maka barangsiapa yang telah berbuat baik sekecil apapun itu dia akan melihat amalan tersebut).

2) مَا (Apa yang)

Adalah isim syarat yang menjazemkan dua fi’il, yakni fi’il yang dimasukinya (syarat) dan yang menjadi jawabnya. Seperti kalimat:

وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ

(Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya).

3) مَتَى (ketika, kapan)

Isim syarat مَتَى adalah isim yang menunjukkan waktu dan dapat menjazemkan dua fi’il. Terkadang setelah مَتَى juga ditambahi مَا zaidah.

Contohnya:

  • مَتَى تَجْتَهِدْ تَنْجَحْ (Ketika kamu bersungguh-sungguh, maka kamu akan sukses).
  • مَتَى مَا يَزُرْنِي أَخُوْكَ أُعْطِهِ هَدِيَّةً (Kapan saudarmu mengunjungiku, maka akan aku beri ia hadiah).

4) أَيَّانَ (Bilamana, ketika)

Yaitu isim mabni fathah yang menunjukkan makna waktu dan dapat menjazemkan dua fi'il mudhari’. Contoh kalimatnya:

أَيَّانَ يَكْثُرْ فَرَاغُ الشَّبَابِ يَكْثُرْ فَسَادُهُمْ

(Bilamana pemuda-pemuda banyak waktu penganggurannya, maka banyak juga kerusakannya).

5) أَيْنَ (Di mana)

Adalah isim syarat mabni fathah yang juga dapat menjazemkan dua fi'il. Sebagaimana perkataan:

اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًا

(Di mana pun kamu sekalian berada, pasti Allah SWT akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat)).

6) أَيْنَمَا (Di mana saja, di mana pun)

Asal muasal lafadz أَيْنَمَا adalah أَيْنَ yang kemudian mendapat tambahan مَا menjadi أَيْنَمَا dengan arti di mana saja atau di mana pun. Jadi مَا di situ merupakan مَا ziyadah atau tambahan. Contohnya:

أَيْنَمَا تَكُوْنُوْ يُدْرِكْكُّمُ الْمَوْتُ

(Di mana pun kamu sekalian berada, kematian akan menemukan kalian).

7) أَنَّى (Di mana, Di mana saja)

Adalah isim syarat yang menggunakan maknanya أَيْنَ (Di mana, di mana saja). Contohnya:

أَنَّى تَبْحَثْ تَجِدْ فَائِدَةً

(Di mana kamu mengkaji, pasti akan menemukan faidah).

8) حَيْثُمَا (Di mana saja)

Adalah isim syarat mabni dhammah yang dapat menjazemkan dua fi’il. Fi’il yang pertama merupakan fi’il syarat, dan yang kedua menjadi jawabnya. حَيْثُ itu sendiri adalah dharaf makan (الظرفية المكانية) dalam hal maknanya. Adapun مَا yang terdapat pada akhir lafadz حَيْثُمَا merupakan huruf tambahan. Seperti kalimat:

حَيْثُمَا تَكْثُرِ السِّلْعُ تَنْخَفِضِ الاَسْعَارُ

(Di mana saja banyak barang dagangan, maka akan merosot pula harganya).

9) كَيْفَمَا (Bagaimana pun, betapa juga)

Asal mula lafadz كَيْفَمَا adalah كَيْفَ yang kemudian mendapat tambahan مَا menjadi كَيْفَمَا dengan arti bagaimana pun atau bagaimana juga. Contohnya seperti:

كَيْفَمَا تَكُنْ يَكُنْ قَرِيْنُكَ

(Bagaimana pun keadaanmu, istrimu akan selalu ada).

10) أَيُّ (Mana saja, apa saja)

Isim syarat yang terakhir yakni أَيُّ (mana saja, apa saja), dan pada umumnya bertemu dengan مَا zaidah atau tambahan. أَيُّ itu sendiri sebenarnya tidaklah mabni, ia dihukumi mu’rab (yang berubah harakat akhirnya). Contohnya adalah:

أَيُّ كِتَابٍ تَقْرَأهُ يُفِدْكَ

(Mana saja buku yang kamu baca, akan bermanfaat bagimu).

Catatan: Untuk membedakan antara isim syarat dan isim istifham dapat dilihat dari penggunaannya. Kalau isim istifham dipakai untuk menghimpun informasi. Sedangkan isim syarat itu digunakan untuk menjadikan satu dari dua kalimat yang terkait oleh sebab dan akibat.

4. Isim Isyarah

Isim mabni yang keempat yaitu isim isyarah. Isim isyarah adalah isim yang menjelaskan sesuatu dengan cara penunjukkan. Bentuk-bentuk dan contoh isim isyarah sebagaimana berikut ini.

a. ذَا (Ini, yang ini)

Kata ذَا biasa diartikan dengan "ini" atau "yang ini". Yaitu isim yang digunakan untuk musyar ilaih yang pasti dibarengi al ta'rif berupa mufrad mudzakar, baik itu aqil (berakal) atau ghairu aqil (tidak berakal), dan baik itu menempati mahal rafa’, nashab, maupun jar.

Contohnya:

  • ذَا اللَّحْمُ شَوَيْتُهُ (Api ini membakarnya).
  • إِرْحَمْ ذَا الهِرَّةِ (Sayangilah kucing ini).
  • قُمْتُ اَمَامَ ذَا الرَّجُلِ (Aku berdiri di depan pemuda ini).

b. ذِى, ذِهْ, تِى, تَا (Ini, yang ini)

Jika pada lafadz ذَا digunakan untuk musyar ilaih yang berupa mufrad mudzakar. Maka, ذِى, ذِهْ, تِى, تَا digunakan untuk musyar ilaih berupa mufrad muannats, baik itu aqil (berakal) ataupun ghairu aqil (tidak berakal), dan baik itu menempati mahal rafa’, nashab, maupun mahal jar.

Contohnya:

  • ذِى القَلَنْسُوَةُ إِشْتَرَيْتُهَا (Peci ini telah saya beli).
  • نَصَرْتُ ذِهِ العَجُوْزَ (Aku telah menolong orang tua (perempuan) ini).
  • تِى الدَجَاجَةُ رَمَيْتُهَا بِتَا الحَصَاةِ (Ayam jago ini kulempari dengan batu kerikil ini).

c. ذَانِ, تَانِ (Ini, yang ini)

Isim isyarah yang selanjutnya yaitu ذَانِ dan تَانِ yang dipakai untuk musyar ilaih berupa tasniyah yang menempati mahal rafa’ saja, baik itu aqil (berakal) maupun ghairu aqil (tidak berakal).

Perbedaan antara keduanya yakni, kalau ذَانِ untuk mudzakar, sedangkan تَانِ untuk musyar ilaih yang berupa muannats. Sebagaimana kalimat:

  • ذَانِ الرَّجُلَانِ يَذْهَبَانِ إِلَى المَسْجِدِ (Kedua pemuda (lk) ini pergi ke masjid).
  • تَانِ الطَّالِبَتَانِ تَقْرَآنِ القُرْآنَ (Kedua pelajar (pr) ini sedang membaca Al-Qur’an).

d. ذَيْنِ، تَيْنِ (yang ini)

Jika ذَانِ dan تَانِ dipakai untuk musyar ilaih berupa tastniyah mahal rafa’, maka ذَيْنِ dan تَيْنِ digunakan untuk musyar ilaih tasniyah mahal nashab dan jar, baik aqil ataupun ghairu aqil. Seperti kalimat:

  • أَطْعَمُ ذَيْنِ الخُبْزَيْنِ (Aku mencicipi kedua roti ini).
  • صَنَعْتُ الشُّرْبَ لِتَيْنِ المَرْأَتَيْنِ (Aku membuat minuman untuk kedua wanita ini).

e. اُوْلَى (dengan makna اللَّذِينَ)

Adalah kata yang digunakan untuk musyar ilaih mudzakar dan muannats berupa jamak secara mutlak, baik untuk mahal rafa’, nashab maupun jar.

Selain lafadz اُوْلَى dibaca qhasar (pendek) juga dapat dibaca mad (panjang) menjadi اُوْلَاءِ. Dengan ketentuan ketika dibaca dibaca qhasar maka hukumnya adalah mabni sukun. Jika dibaca mad maka hukumnya menjadi mabni kasrah. Seperti perkataan:

اُولَى تُحِبُّوْنَهُمْ / اُولَاءِ تُحِبُّونَهُمْ

(Orang-orang ini menyukai mereka).

Catatan: Sebagian besar ulama ahli nahwu mengatakan lebih baik dibaca mad daripada dibaca qhasar.

Pada umumnya, اُوْلَى / اُوْلَاءِ digunakan untuk mengisyarahi musyar ilaih berupa aqil (berakal). Adapun yang digunakan untuk mengisyarahi musyar ilaih ghairu aqil (tidak berakal) itu langka. Contohnya seperti syair di bawah ini.

ذَمُّ المَنَازِلَ بَعْدَ مَنْزِلَةِ اللِّوَى | وَالعَيْشَ بَعْدَ اُولَئِكَ الاَيَّامَ

“Kecamlah pangkat-pangkat setelah peristiwa di lembah Liwa dan kecam juga keadaan kehidupan setelah hari-hari itu”.

f. هُنَا / هَهُنَا (Di sini / di tempat ini)

Isim isyarah yang terakhir yakni هُنَا / هَهُنَا (di sini / di tempat ini), yang digunakan untuk mengisyarahi musyar ilaih berupa tempat yang dekat. Contohnya seperti:

  • إِجْلِسْ هُنَا (Duduklah di sini)
  • قِفْ هَهُنَا (Berhentilah di sini).
Dari macam-macam adat isyarah yang telah disebutkan di atas adalah kata yang digunakan untuk musyar ilaih yang dekat. Ketika menghendaki menunjukkan pada musyar ilaih yang jauh maka cukup menambahkan kaf khitab (ك), baik dibarengi dengan lam bu’da (lam yang terjatuh setelahnya) maupun disepikan dari lam bu’da (ل). Contohnya seperti ذَاكَ ذَلِكَ (yang itu).

Selain itu, juga dapat ditambahkan ha’ ta’nits pada awal lafadznya menjadi هَذَاكَ. Akan tetapi, jika isim isyarah tersebut sudah dibarengi dengan lam bu’da, maka tidak boleh ditambahkan ha’ ta’nits seperti هَذَلِكَ.

Berbeda dengan هُنَا / هَهُنَا, jika dikehendaki mengisyarahi musyar ilaih berupa tempat yang jauh, maka harus dipertemukan dengan kaf khitab menjadi هُنَاكَ هَهُنَاكَ., atau dengan mendatangkan lafadz ثَمَّ / هَنَّا / هُنَالِكَ / هِنَّ.

5. Isim Maushul

Isim maushul adalah jenis isim mabni yang masih samar. Untuk menghilangkan kesamaran serta menyatakan maksudnya maka dibutuhkan sesuatu yang sambung dengannya yang disebut sebagai shilah maushul.

Isim maushul dibagi ke dalam dua macam, yaitu : 1) isim maushul mukhtash, dan 2) isim maushul musytarak.

a. Isim Maushul Mukhtash

Isim maushul mukhtash adalah kaya yang jelas dalam menunjukkan pada sebagian macam dan terbatas pada sebagian macam. Adapun isim-isim yang termasuk kelompok isim ini yaitu;

1) الَّذِي / الَّتِي

Isim "alladzi" atau "allati" (الَّذِي / الَّتِي) adalah kata sambung yang digunakan untuk aqil (berakal) atau ghairu aqil (tidak berakal), baik menempati mahal rafa’, nashab, ataupun jar. Terkadang keduanya diucapkan dengan lafadz اللَّذْ / اللَّتْ.

Contohnya:

  • العِلْمُ هُوَ الّذِيْ يَحْرِسُكَ لَا المَلُ (Ilmulah yang menjagamu, bukan harta).
  • لَنْ تَرْجِعَ الاَيَّمُ الَّتِيْ مَضَتْ أَبَدًا (Hari-hari yang telah berlalu tidak akan pernah kembali lagi).

Penggunaan الَّذِي / الَّتِي ini terbatas, artinya ia hanya bisa digunakan untuk mufrad mudzakar/ muannats saja, tidak bisa dipakai untuk tasniyyah maupun jama’.

2) اللَّذان / اللَّتَانِ

Asal muasal lafadz اللَّذان / اللَّتَانِ adalah lafadz الَّذِي / الَّتِي, huruf ya’ (ي) yang berada di akhir kalimahnya dibuang kemudian ditambahkan dengan tandanya isim tasniyyah, yakni alif nun ketika rafa’ dan ya’ nun ketika nashab dan jar.

Contohnya:

  • سَافَرَ اللَّذَانِ أَقَامَ بِالفُنْدُقِ (Dua orang yang menginap di hotel ini sudah pergi).
  • اللَّتَانِ وَاظَبَتَا عَلَى الحُضُوْرِ نَجَحَتَا (Dua murid (pr) yang rajin hadir telah lulus).

Lafadz اللَّذان / اللَّتَانِ memiliki dua macam bacaan, yakni dapat dibaca dengan menambahkan lam (اللَّذَان/اللَّتَانِ/اللَّذَيْنِ/اللَّتَيْنِ) atau tanpa penambahan lam (الَّذَانِ/الَّتَانِ/الَّذَيْنِ/الَّتَيْنِ).

3) الاُوْلَى / اللَّذِيْنَ

Dalam bahasa Arab, lafadz الاُوْلَى / اللَّذِيْنَ juga berlaku isim maushul yang mukhtash. Lafadz الاُوْلَى / اللَّذِيْنَ dipakai untuk mudzakar baik mahal rafa’, nashab, maupun jar.

Contohnya:

  • جَاءَ الاُولَى نَجَحُوْا مُبْتَهِجِيْنَ (Siswa-siswa yang lulus telah tiba dalam keadaan senang sekali).
  • اَمَّا الَّذِيْنَ لَمْ يُؤْمِنُوْا فَمَا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الصِّيَامُ (Adapun orang-orang yang tidak beriman, tidak diwajibkan atas mereka berpuasa).

4) اللَّاتِ / اللَّاءِ

Dalam ilmu Nahwu, lafadz اللَّاتِ / اللَّاءِ bisa juga diucapkan dengan penetapan ya’ di akhir kalimahnya, menjadi اللَّاتِي / اللَّائِي, yang digunakan untuk jamak muannats aqil dan ghairu aqil baik mahal rafa’, nashab, maupun jar. Seperti perkataan:

جَاءَنِي اللَّاتِ / اللَّاءِ يَرْجِعْنَ مِنَ السَّوْقِ

(Orang-orang (pr) yang kembali dari pasar mendatangiku).

b. Isim Maushul Musytarak

Isim maushul musytarak adalah isim yang tidak terbatas pada sebagian macam bahkan dapat digunakan pada sebagian macam. Artinya, isim ini dapat digunakan baik untuk mufrad, tastniyah, jamak dan juga untuk mudzakar atau muannats mahal rafa’, nashab, dan jar baik itu aqil maupun ghairu aqil.

Adapun isim-isim yang termasuk isim maushul musytarak di antaranya yaitu مَنْ ,مَا dan ال. Sebenarnya masih ada lagi selain ketiga yang telah disebutkan itu. Namun, untuk pembahasan yang lebih terinci lagi membutuhkan bab tersendiri.

Contohnya:

  • جَاءَنِي مَنْ نَصَرَ (Orang (lk) yang menolong telah datang padaku).
  • أَعْجَبَنِي مَا كَتَبْتَ مِنَ المَادَّةِ (Aku suka sebuah artikel yang kamu tulis).
  • جَاءَنِي الضَّارِبُ (Orang (lk) yang memukul telah mendatangiku).

6. Isim fi’il

Isim-isim mabni yang keenam yaitu isim fi’il (اِسْمُ الفِعْلِ), adalah isim yang digunakan untuk menunjukkan suatu pekerjaan, akan tetapi ia tidak memiliki ciri-ciri kalimah fi’il. Jika dilihat berdasarkan waktunya, isim fi’il dibagi menjadi tiga macam, yakni:

  1. Isim fi’il madhi, seperti lafadz هَيْهَاتَ dengan memakai maknanya lafadz بَعُدَ (jauh, menjauh).
  2. Isim fi’il mudhari, seperti lafadz قَطْ bermakna يَكْفِى (cukup, menjadi cukup, mencukupi).
  3. Isim fi’il amr, seperti lafadz آمِيْنَ bermakna إِسْتَجِبْ (kabulkanlah).

Meskipun isim fi’il ini sebagai ganti dari fi’il, namun tetap dapat berfungsi sebagaimana fi’il yang digantikannya. Artinya dapat merafa’kan isim sebagai fa’ilnya dan menashabkan isim sebagai maf’ulnya.

Penutup

Demikianlah penjelasan mengenai isim mabni dalam ilmu nahwu. Dengan memahami pengertian, macam-macam, dan contoh penggunaan isim mabni akan lebih memudahkan pelajar untuk mengidentifikasi dan membuat kalimat menggunakan isim mabni.

Selain macam-macam isim mabni yang telah disebutkan di atas, sebenarnya masih ada lagi isim yang berstatus mabni, yaitu isim adat (bilangan) dan sebagian isim dharaf. Namun membutuhkan pembahasan tersendiri karena memiliki bagian yang lebih kompelks dan rinci.

Nahwu Shorof Online
Nahwu Shorof Online Media belajar bahasa Arab online terbaik, menyajikan materi ilmu Nahwu dan Shorof yang bersumber dari buku dan kitab bahasa Arab.

Posting Komentar